http://.www.hariyano.hasantua.com
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Bahan makanan, selain merupakan sumber gizi bagi
manusia, juga merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme. Pertumbuhan
mikroorganisme dalam bahan pangan dapat menyebabkan perubahan yang
menguntungkan seperti perbaikan bahan pangan secara gizi, daya cerna ataupun
daya simpannya.
Selain itu pertumbuham mikroorganisme dalam bahan
pangan juga dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia yang tidak
diinginkan, sehingga bahan pangan tersebut tidak layak dikomsumsi. Kejadian ini
biasanya terjadi pada pembusukan bahan pangan.
Bahan pangan dapat bertindak sebagai perantara atau
substrat untuk pertumbuhan mikroorganisme patogenik dan organisme lain penyebab
penyakit. Penyakit menular yang cukup berbahaya seperti tifus, kolera, disentri,
atau tbc, mudah tersebar melalui bahan makanan.
Gangguan-gangguan kesehatan, khususnya gagguan perut
akibat makanan disebabkan, antara lain oleh kebanyakan makan, alergi,
kekurangan zat gizi, keracunan langsung oleh bahan-bahan kimia, tanaman atau
hewan beracun; toksintoksin yang dihasilkan bakteri; mengkomsumsi pangan yan
mengandung parasitparasit hewan dan mikroorganisme. Gangguan-gangguan ini
sering dikelompokkan menjadi satu karena memiliki gejala yang hampir sama atau
sering tertukar dalam penentuan penyebabnya.
1.2
Rumusan Masalah
Pendiginan adalah penyimpanan
bahan pangan di atas suhu pembekuan bahan yaitu -2 sampai +10 0 C. Cara
pengawetan dengan suhu rendah lainya yaitu pembekuan. Pembekuan adalah
penyimpanan bahan pangan dalam keadaan beku yaitu pada suhu 12 sampai -24 0 C.
Pembekuan cepat (quick freezing) di lakukan pada suhu -24 sampai -40 0 C.
Pendinginan biasanya dapat mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari atau
minggu tergantung pada macam bahan panganya, sedangkan pembekuan dapat mengawetkan
bahan pangan untuk beberapa bulan atau kadang beberapa tahun. Perbedaan lain
antara pendinginan dan pembekuan adalah dalam hal pengaruhnya terhadap
keaktifan mikroorganisme di dalam bahan pangan. Penggunaan suhu rendah dalam
pengawetan pangan tidak dapat membunuh bakteri, sehingga jika bahan pangan beku
misalnya di keluarkan dari penyimpanan dan di biarkan mencair kembali
(thawing), pertumbuhan bakteri pembusuk kemudian berjalan cepat kembali.
Pendinginan dan pembekuan masing-masing juga berbeda pengaruhnya terhadap rasa,
tekstur, nilai gizi, dan sifat-sifat lainya. Beberapa bahan pangan menjadi
rusak pada suhu penyimpangan yang terlalu rendah.
Prinsip pengawetan bahan makanan
didasarkan atas bagaimana caranya memanipulasikan faktor – faktor linkungan
bahan makanan yang dimaksud. Sebagai contoh mikroba membutuhkan suhu optic
untuk pertumbuhannya. Suhu yang lebih tinggi merusak pertumbuhan sedangkan suhu
yanag lebih rendah sanagat menghambat metabolisme.
Metabolisme mikroba memerlukan
banyak air vbebes penghilangan air secara biologis aktif dengan perlakuan
pengeringan atau dehidrasi menghentikan pertumbuhan mokroba. Perlakuan ini juga
menurunkan akti fitas enzim dan reaksi – reaksi kimia. Proses ketengikan lipid
akan menurun apabila air sruktural yang melindungi dibiarkan tetap seperti
semula. Pengaruh penuapan air terhadap perubahan zat gizi dalam prose pengeringan
relative kecil kalau suhu pengeringannya sedang dan bahan makanan dikemas cukup
baik. Pengeringan beku yaitu pengringan sublimasi dalam ruangan vakum pada suhu
rendah mnemberikan keuntungan lebih daripada pengeringan suhu tinggi ditinjau
dari sudut pengawetan gizi.
Ada 6 dasar prinsip pengolahan
bahan makanan untuk pengawetan. Keenam prinsip ini adalah :
1.
Pengurangan
air – pengeringan, dehidrasi, dan pengentalan
2.
Perlakuan
panas – blanching, pasteurisasi, dan sterilisasi
3.
Perlakuan
suhu rendah – pendinginan dan pembekuan
4.
Pengendalian
makanan – fermentasi dan aditif asam
5.
Berbagai
macam zat kimia aditif
6.
Iradiasi
1.3
Tujuan Makalah
Berdasarkan
rumusan masalah tersebut di atas maka, tujuan dari penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut :
1.
Mekanisme Frozen Fish dalam Ilmu
pengetahuan
2.
Mampu merasionalisasikan Frozen food
dalam keseharian
3.
Memberikan tambahan ilmu bagi kalangan
mahasiswa dan umum
4.
Memahami penyebab pembekuan pada ikan
5.
Memahami perubahan biokimia pada ikan
6.
Penyebab penurunan mutu ikan
7.
Menjadi salah satu tugas kuliah dalam
matakuliah pengantar teknologi hasil perikanan.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Definisi Makanan
Beku ( Frozen Food )
Makanan beku (frozen food) adalah makanan yang dibekukan dengan tujuan
untuk mengawetkan makanan hingga siap dimakan. Sejak zaman dahulu, petani, nelayan,
dan pemburu
telah mengawetkan hasil usaha mereka di bangunan yang tidak terhangatkan ketika
musim dingin. Pembekuan memperlambat dekomposisi dengan mengubah kadar air
yang tersisa menjadi es
dan menghambat pertumbuhan sebagian besar spesies bakteri.
Pada dasarnya
terdapat dua jenis proses pembekuan makanan, yaitu secara mekanik dan secara kriogenik
(flash freezing).
Kinetika pembekuan berperan penting dalam nenentukan kualitas makanan yang
dibekukan. Pembekuan yang cepat menyebabkan partikel air di dalam makanan yang
membeku membentuk partikel es berukuran kecil. Pembekuan yang lambat cenderung
menghasilkan partikel es berukuran besar sehingga merusak tekstur bagian dalam
makanan. Pembekuan kriogenik saat ini merupakan teknologi pembekuan tercepat
karena penggunaan nitrogen cair. Secara umum
perkembangan teknologi pembekuan menuju kepada proses pembekuan yang lebih
cepat dan efisien secara energi dan biaya.
Pembekuan
secara mekanik dikembangkan terlebih dahulu dalam dunia industri dan masih
menjadi metode pembekuan yang utama sampai sekarang. Pembekuan mekanik
mensirkulasikan refrigeran dalam sebuah
sistem yang mengambil panas di lingkungan sekitar makanan. Panas lalu
dipindahkan ke kondenser dan dilepaskan ke lingkungan lewat konveksi ke udara
maupun melalui cairan lainnya. Refrigeran dalam siklusnya terus menerus berubah
fase dari cair menjadi gas, dari tekanan tinggi ke tekanan rendah.
Pembekuan
secara kriogenik adalah pengembangan terbaru dari teknologi pembekuan makanan.
Kriogenik memanfaatkan gas yang memiliki temperatur yang sangat rendah,
biasanya nitrogen
dalam wujud cair atau karbon dioksida dalam wujud padat (biang es)
dan diterapkan secara langsung ke makanan.
Pembekuan
makanan adalah cara yang efektif dalam mengawetkan makanan karena patogen
penyebab kerusakan makanan tidak dapat tumbuh, bahkan mati, pada temperatur
beku. Namun proses ini kurang efektif dalam melawan patogen dibandingkan dengan
proses termal seperti perebusan, karena bakteri, walau pertumbuhannya terhenti,
namun masih dapat hidup pada temperatur dingin. Masalah yang
terdapat pada proses pembekuan makanan adalah bahaya kemungkinan patogen dapat
aktif kembali setelah makanan beku dinormalkan kembali.
Makanan dapat
diawetkan selama beberapa bulan dengan pembekuan. Penyimpanan beku jangka
panjang membutuhkan temperatur -18 °C atau lebih rendah dari itu.
Laju pembekuan
memiliki dampak langsung terhadap ukuran dan jumlah kristal es yang terbentuk
di dalam sel-sel makanan dan ruang antar sel. Pembekuan yang lambat membentuk
jumlah kristal es yang sedikit namun berukuran besar, dan sebaliknya, pembekuan
yang cepat menghasilkan jumlah kristal es yang banyak namun berukuran kecil.
Ukuran kristal es yang besar dapat "menusuk" dinding sel dan
menyebabkan kualitas tekstur berkurang. Namun tingkat kerusakan ini
tidak sama pada setiap jenis makanan sehingga setiap produk dapat memiliki laju
pembekuan optimal yang berbeda-beda
Makanan beku
umumnya tidak membutuhkan bahan tambahan makanan lainnya karena mikroorganisme
sudah terhambat pertumbuhannya pada tempratur beku dan hal itu cukup untuk
menahan laju pembusukan. Namun untuk pembekuan jangka panjang pada temperatur
yang lebih rendah dari -9.5°C, bahan makanan dapat ditambahkan dengan karboksimetilselulosa
(CMC) yang berfungsi sebagai penstabil. CMC tidak memiliki rasa, tidak memiliki
bau, dan tidak merusak kualitas bahan makanan.
III.
PEMBAHASAN
3.1
Perubahan
Biokimia Pada Ikan
Ikan merupakan
bahan pangan yang mudah rusak (membusuk). Hanya dalam waktu 8 jam sejak ikan di
tangkap dan di daratkan sudah akan timbul proses perubahan yang mengarah pada
kerusakan (Adwyah, 2007) dan penurunan mutu (deteriorasi) (Erlangga, 2009). Faktor-faktor utama untuk
mempengaruhi mutu ikan adalah penerapan suhu rendah (pendinginan), kecermatan,
kebersihan (hygiene) serta kecepatan
kerja (faktor waktu) (Pearson dan Duston, 1996 dalam Erlangga, 2012). Kesegaran bahan mentah ikan merupakan
criteria kualitas paling penting untuk menentukan mutu dan daya awet dari
produk yang di bekukan (Ilyas, 1983 dalam
Erlangga, 2012).
Mutu daging ikan
yang baik adalah ketika belum terjadi perubahan biokimia, mikrobiologi, dan
fisika yang mengarah kepada kerusakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan mutu daging ikan antara lain metode preparasi, kebersihan (hygiene), dan lama penyimpanan (Silva et al., 2005 dalam Erlangga, 2012). Penurunan tingkat kesegaran daging ikan
terlihat dengan adanya perubahan fisik, kimia dan organoleptik pada daging
ikan. Semua proses perubaan ini akirnya mengarah ke pembusukan. Urutan proses
perubahan tersebut meliputi perubahan pre
rigor, rigor mortis, aktivitas enzim, aktivitas mikroba dan oksidasi (
Afrianto dan Liviawaty, 1989). Hal tersebut yang di sebut dengan peristiwa post mortem yakni salah satu indikasi
kemunduran mutu pada daging ikan (Erlangga, 2009).
Fase pre rigor di tandai dengan lender yang terlepas dari kelenjar di bawah
kulit di sekeliling tubuh ikan ( Erikson dan misimi, 2008 dalam Erlangga, 2009). Kondisi daging ikan pada fase ini lembut dan
lunak, dan secara kimiawi di tandai dengan penurunan jumlah ATP dan keratin
fosfat. Sirkulasi darah berhenti pada awal kematian ikan dan menyebabkan
habisnya aliran oksigen di dalam jaringan (Eskin, 1990 dalam Erlangga, 2009). Afrianto dan Liviawaty (1989) menambahkan
bahwa terhentinya aliran oksigen ke dalam jaringan peredaran darah menyebabkan
terjadinya reaksi anaerob. Reaksi anaerob akan memanfaatkan ATP dan glikogen
yang telah terbentuk selam ikan masih hidup, sebagai sumber energi, sehingga
jumlah ATP terus berkurang.
Fase rigor mortis di tandai dengan keadaan otot yang kaku dan keras. Hilangnya
kelenturan daging ikan berhubungan dengan terbentuknya aktomiosin pada awal
fase rigor (Eskin, 1990 dalam
Erlangga, 2009). Pembentukan aktomiosin ini berlangsung lambat pada tahap awal
dan kemudian menjadi cepat pada tahap selanjutnya. Pada fase rigor mortis,
sumber enerigi atau ATP akan berkurang akibat aktivitas enzim ATPase yang di
ikuti oleh perubahan glikogen menjadi asam laktat. Perubahan glikogen pada
daging ikan menyebabkan penurunan nilai pH. Perubahan glikogen menjadi asam
laktat terjadi pada proses glikolisis (Eskin, 1990 dalam Erlangga, 2009). Kandungan glikogen yang tinggi dapat
memperlambat proses glikolisis pada daging ikan sehingga dapat menunda
datangnya proses rigor mortis. Pada fase rigor mortis, nilai pH daging ikan
akan mengalami penurunan menjadi 6,2-6,6 dari pH mula-mula 6,9-7,2. Tinggi
rendahnya pH awal ikan sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada dan kekuatan
penyangga pada daging ikan. Kekuatan penyangga pada daging ikan di sebabkan
oleh protein, asam laktat, asam fosfat, trimetilaminoksida
dan basa-basa menguap. Nilai pH daging ikan akan terus naik mendekati netral
setelah fase rigor mortis berakhir (Farber,
1965 dalam Erlangga, 2009). Penurunan
mutu pada fase rigor mortis di
akibatkan pula oleh serangan bakteri. Pada ikan hidup terdapat bakteri dalam
jumlah besar yakni pada saluran pencernaan, insang, saluran darah, dan
permukaan kulit, tetapi bagian tubuh ikan tersebut mempunyai barrier terhadappenyangga bakteri
kedalam daging ikan. Setelah ikan mati kemampuan barrier ikan tersebut akan hilang sehingga bakteri akan segera
masuk kedalam daging ikan melalui keempat bagian tersebut (Connel, 1980 dalam Hartatik, 2007). Bakteri yang umum
di temukan pada ikan adalah bakteri dari golongan Pseudomonas, Alcaligenes, Micrococus, Sarcina, Flavorbacterium,
Serratia, Vibio, dan Bacillus.
Ada ikan segar yang baru di tangkap yang dominan adalah bakteri jenis Micrococus dan Flavobacterium, kemudian setelah pembusukan berlangsung dominasi
beralih kepada jenis-jenis bakteri pembusuk seperti Pseudomonas dan Achromobacter
(Ilyas, 1983 dalam Erlangga,
2009).
Fase post rigor di tandai dengan mulai
melakukan otot secara bertahap. Fase pos rigor merupakan permulaan dari proses
pembusukan yang meliputi autolisis dan pembusukan oleh bakteri (Erlangga,
2009). Autolysis adalah proses penguraian organ-organ tubuh ikan oleh
enzim-enzim yang terdapat dalam tubuh ikan sendiri. Fase ini terjadi setelah
ikan mati melewati fase rigor mortis. Selama ikan hidup, enzim-enzim yang
terdapat dalam tubuh berasal dari daging (cathepsin),
enzim pencernaan (trypsin, chemotrypsin,
dan pepsin) atau enzim dari
mikroorganisme yang terdapat dalam saluran pencernaan akan membentu proses
metabolism makanan. Ketikan ikan mati, enzim-enzim yang terdapat dalam ikan
masih mempunyai kemampuan untuk bekerja secara aktif, tetapi karena jaringan
otak sebagai organ pengontrol sudah tidak dapat berfungsi lagi maka sistem
kerja enzim tersebut menjadi tidak terkontrol dan dapat merusak organ tubuh
lainnya seperti dinding usus, otot daging, serta menguraikan senyawa kompleks
menjadi sederhana. Peristiwa inilah yang di sebut dengan autolisis. Proses
autolisis, biasanya selalu di ikuti dengan meningkatnya jumlah bakteri, sebab
semua hasil penguraian enzim selama proses autolisis merupakan media yang
sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri dan mikroorganisme lain (Afrianto dan Liviawaty,
1989).
Puspitasari
(2012) menambahkan bahwa enzim proteolitik
yang terdapat dalam otot dan isi rongga perut pada ikan yang telah di tangkap,
berperan dalam proses penurunan kualitas ikan dan produk perikanan selama masa
penyimpanan dan pengelohan. Di lain sisi, peptide dan asam amino bebas yang
merupakan produk/hasil dari autolisis pada protein otot ikan, dapat menyebabkan
pertumbuhan mikroba dan produksi amina biogenik, yang kemudian mengakibatkan
kebusukan pada ikan.
3.2
Penyimpanan Beku Pada Ikan
Pembekuan
menurut Zaitsev et al., (1969) adala
sebuah proses di mana suhu ikan mentah berkurang dari tingkat awal menjadi
antara -160C dan -180C, dan sebagian besar dari cairan di
dalamnya diubah menjadi es. Adawyah (2007) menambahkan bahwa dalam keadaan beku
dapat menghambat aktivitas bakteri dan enzim sehingga daya awet ikan beku lebih
besar di bandingkan ikan yang tanpa perlakuan pendinginan. Pada suhu -120C,
aktivitas bakteri dapat di hentikan namun proses kimia enzimatis tetap terus
berjalan. Dalam tubuh ikan sebagian besar (60%-80%) terdiri atas cairan yang
terdapat di dalam sel, jaringan, dan ruangan-ruangan antar sel. Cairan tersebut
berupa koloid encer yang mengandung berbagai macam garam (kalium fosfat dasar)
dan protein. Sebagian cairan tersebut (± 67%) berupa free water dan selebihnya adalah (± 5%) bound water. Ikan mulai mengalami pembekuan pada suhu antara -0,60C
sampai -20C, atau rata-rata -10C. yang mula-mula membeku
adalah free water kemudian disusul
dengan bound water.
Pada
penyimpanan beku, air pada jaringan produk akan membeku sehingga mobilisasi
mikroorganisme dapat di hambat sehingga fungsi biologisnya yang menyebabkan
pembusukan tidak dapat terjadi. Pada beberapa jenis mikroorganisme tetap dapat
tumbuh pada suhu rendah. Jenis mikroorganisme psycrophilic dapat tumbuh pada
suhu di bawah 00C. jenis ini bakteri psycrophilic yang umum terdapat
di dalam produk makanan adalah Pseudomonas
dan Enterococcus (Hartatik, 2007).
Menurut Connell (1980) dalam Hartatik
(2007), bakteri Pseudomonas dan Enterococcus secara alami sudah terdapat
di dalam badan ikan.
Arifin
et al., (2012) menjelaskan bahwa ikan
yang di bekukan dapat mencegah kerusakan mikroba karena otot protein mengalami
sejumlah perubahan yang tidak dapat larut dan membentuk agregat yang
memodifikasi struktur dan fungsinya. Di ketahui pula bahwa oksidasi lemak dapat
terjadi selama proses penyimpanan dan hal itu di pengaruhi oleh faktor variable
suhu penyimpanan, aktivitas air dan suhu kemasan yang dapat mempengaruhi
tingkat proses degradasi. Tingkat oksidasi produk meningkat dengan seiringnya
waktu penyimpanan dan suhu.
Secara
garis besarnya, pengawetan dengan suhu rendah pada ikan dapat di kelompokkan
menjadi dua metode, yaitu :
1.
Cooling
Di lakukan pada temperature 40C
sampai -10C, dengan menggunakan cara ini pertumbuhan mikroganisme
akan terhambat, sehingga kesegaran ikan dapat di pertahankan untuk beberapa
waktu yang singkat.
2.
Freezing
Cara penanganan ini di lakukan pada suhu
-180C sampai -300C, dengan di simpan pada suhu serendah
itu, pertumbuhan mikroorganisme akan benar-benar dapat terhenti dan ikan dapat di
simpan dalam jangka waktu yang lebih lama. Kedua cara pengawetan tersebut cukup
efektif di gunakan untuk meghambat pertumbuhan mikroorganisme pada ikan. Akan
tetapi, perubahan enzimatis dan non enzimatis di dalam tubuh ikan sendiri akan
tetap berlangsung hanya saja dengan kecepatan yang lebih rendah (puspitasari,
2012).
3.3
Pengaruh
Pembekuan Terhadap Mutu Ikan
Perlakuan freezing
untuk pengawetan ikan tidak bias mencegah hilangnya kandungan asam amino dalam
ikan. Akan tetapi, reaksi fisika dan biokimia yang dapat menyebabkan kebusukan
pada ikan dapat di hambat oleh proses pembekuan ini. Kualitas akhir dari ikan
tergantung pada kualitas ikan dalam masa pengawetan pembekuan, yang juga
berkaitan dengan suhu pembekuan, serta kecepatan pembekuan dan distribusi.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, kecepatan pembekuan
menjadi faktor utama yang berperan penting dalam menentukan kualitas akhir ikan
hasil pembekuan. Pembekuan cepat dapat menghasilkan kualitas ikan beku yang
lebih baik dari pada pembekuan lambat, karena pada pembekuan lambat akan
terbentuk Kristal-kristal es yang lebih besar, yang dapat merusak dinding sel
ikan menyebabkan terjadinya denaturasi protein. Perubahan yang terjadi pada
protein ikan akan mengakibatkan kepudaran dan kekeruhan pada tektur serta melunaknya
jaringan di tubuh ikan, yang sangat mempengaruhi kualitas akhir ikan (
Puspitasari, 2012).
Selama masa penyimpanan dingin, dekomposisi Thimethyalamine Oxide pada ikan dan
hasil laut lainnya, akan menghasilkan pembentukan trimethylamine dan dimethyalamine
yang dapat menyebabkan hilangnya aroma asli dari ikan segar. Selain itu, pada
pengawetan beku yang berkelanjutan, ikan juga akan mengalami penurunan nilai
protein dan lemak, serta mengalami peningkatan jumlah mikroba pembusuk.
Perubahan autolisis juga tetap dapat terjadi pada ikan yang di simpan pada suhu
rendah ( chilled or frezon fish) (
Puspitasari, 2012). Seperti pada percobaan yang di lakukan oleh Arannilewa et al., (2005), menunjukan bahwa
terjadinya penurunan protein dan lemak sebesar 27,9 dan 25,92%, serta
peningkatan jumlah koliform dari 3,0x103 sampai 7,5x106
selama masa penyimpanan.
Arannilewa et al., (2005) menjelaskan bahwa perubahan dalam
lemak selam penyimpanan beku berhubungan dengan oksidasi lemak. Oksidasi lemak
meliputi tiga tahapan mekanisme radikal bebas, yaitu inisiasi, propagasi, dan
terminisasi. Inisiasi meliputi pembentukan radikal bebas dari lemak melalui
katalis, seperti panas, ion, logam, dan iradiasi. Radikal bebas yang terbentuk
ini kemudian bereaksi dengan oksigen dan membentuk radikal peroksil. Selam
proses propagasi, radikal peroksil tersebut bereaksi dengan molekul lemak lain
untuk membentuk hidroperoksidasi dan radikal bebas yang baru. Terminisasi akan
terjadi ketika pembentukan radikal bebas tersebut saling berinteraksi saling
membentuk produk non-radikal.
Secara umum, oksidasi adalah reaksi yang terjadi antara
oksigen dengan ikan ganda pada asam lemak. Oleh karena itu, lemak pada tubuh
ikan yang terdiri atas asam lemak tak jenuh ( PUFA) mempunyai resiko yang
tinggi untuk terjadinya oksidasi. Oksidasi lemak pada ikan dapat terjadi secara
enzimatis maupun non –enzimatis.
Hidrolisis enzimatis lemak oleh lipase di sebut dengan
lipolisis (kerusakan lemak) dalam proses ini, lipase memecah gliserida dan membentuk asam-asam lemak bebas yang
mengakibatkan hilangnya flavor, mempercepat ketengikan, dan menurunkan kualitas
minyaknya. Enzim lipase yang berperan dalam proses ini adalah lipase yang
terdapat pada kulit, darah, serta jaringan dalam tubuh ikan. Enzim utama dalam
hidrolisis lemak ikan adalah triacyl
lipase, phospholipase A2 dan phospholipase
B.
Oksidasi non-enzimatis terjadi karena katalisis senyawa
hematin (hemoglobin, mioglobin, dan cytochrome) yang menghasilkan
hidroperoksida. Asam lemak yang terbentuk selama proses hidrolisis lemak ikan
akan beriteraksi dengan protein myofibrillar
dan sarkoplasma yang menyebabkan denaturasi. Undelan et al., (1998) dalam
Puspitasari (2012) menyatakan bahwa oksidasi lemak dapat terjadi pada otot ikan
sehubungan dengan ketingginya hemoglobin yang mendukung terjadinya oksidasi,
menurunkan pH, dapat mempercepat oksidasi lemak melalui Hb yang telah
terdeoksigenasi ( Puspitasari, 2012).
Doughikollaee (2012) menambahkan bahwa selama penyimpanan
beku dapat terjadi adanya pertumbuhan es kristal yang dapat meningkatkan
pengkerutan pada serat otot dan dapat memisahkan struktur selular yang di
hasilkan pada banyaknya drip loss. Suhu penyimpanan sebaiknya kurang dari -180C
untuk kualitas yang optimal. Beberapa studi juga menyatakan bahwa drip loss
meningkat seiring dengan lamanya penyimpanann beku.
IV.
PENUTUP
4.1
Simpulan
Makanan beku (frozen food) adalah makanan yang dibekukan dengan tujuan
untuk mengawetkan makanan hingga siap dimakan. Sejak zaman dahulu, petani, nelayan,
dan pemburu
telah mengawetkan hasil usaha mereka di bangunan yang tidak terhangatkan ketika
musim dingin. Pembekuan memperlambat dekomposisi dengan mengubah kadar air
yang tersisa menjadi es
dan menghambat pertumbuhan sebagian besar spesies bakteri.
Ada 6 dasar prinsip pengolahan
bahan makanan untuk pengawetan. Keenam prinsip ini adalah :
1.
Pengurangan
air – pengeringan, dehidrasi, dan pengentalan
2.
Perlakuan
panas – blanching, pasteurisasi, dan sterilisasi
3.
Perlakuan
suhu rendah – pendinginan dan pembekuan
4.
Pengendalian
makanan – fermentasi dan aditif asam
5.
Berbagai
macam zat kimia aditif
6.
Iradiasi
4.2
Saran
Makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, di butuhkan saran berupa kritik, solusi, dan
masukan yang positif demi menyepurnakan makalah ini, sehingga penulis bisa menyempurnakan
makalah yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar