Minggu, 17 Mei 2015

sebab-akibat makanan beku di lakukan dalam pembekuan


http://.www.hariyano.hasantua.com
I.                   PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Bahan makanan, selain merupakan sumber gizi bagi manusia, juga merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan dapat menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan bahan pangan secara gizi, daya cerna ataupun daya simpannya.
Selain itu pertumbuham mikroorganisme dalam bahan pangan juga dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia yang tidak diinginkan, sehingga bahan pangan tersebut tidak layak dikomsumsi. Kejadian ini biasanya terjadi pada pembusukan bahan pangan.
Bahan pangan dapat bertindak sebagai perantara atau substrat untuk pertumbuhan mikroorganisme patogenik dan organisme lain penyebab penyakit. Penyakit menular yang cukup berbahaya seperti tifus, kolera, disentri, atau tbc, mudah tersebar melalui bahan makanan.
Gangguan-gangguan kesehatan, khususnya gagguan perut akibat makanan disebabkan, antara lain oleh kebanyakan makan, alergi, kekurangan zat gizi, keracunan langsung oleh bahan-bahan kimia, tanaman atau hewan beracun; toksintoksin yang dihasilkan bakteri; mengkomsumsi pangan yan mengandung parasitparasit hewan dan mikroorganisme. Gangguan-gangguan ini sering dikelompokkan menjadi satu karena memiliki gejala yang hampir sama atau sering tertukar dalam penentuan penyebabnya.
1.2    Rumusan Masalah

Pendiginan adalah penyimpanan bahan pangan di atas suhu pembekuan bahan yaitu -2 sampai +10 0 C. Cara pengawetan dengan suhu rendah lainya yaitu pembekuan. Pembekuan adalah penyimpanan bahan pangan dalam keadaan beku yaitu pada suhu 12 sampai -24 0 C. Pembekuan cepat (quick freezing) di lakukan pada suhu -24 sampai -40 0 C. Pendinginan biasanya dapat mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari atau minggu tergantung pada macam bahan panganya, sedangkan pembekuan dapat mengawetkan bahan pangan untuk beberapa bulan atau kadang beberapa tahun. Perbedaan lain antara pendinginan dan pembekuan adalah dalam hal pengaruhnya terhadap keaktifan mikroorganisme di dalam bahan pangan. Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan pangan tidak dapat membunuh bakteri, sehingga jika bahan pangan beku misalnya di keluarkan dari penyimpanan dan di biarkan mencair kembali (thawing), pertumbuhan bakteri pembusuk kemudian berjalan cepat kembali. Pendinginan dan pembekuan masing-masing juga berbeda pengaruhnya terhadap rasa, tekstur, nilai gizi, dan sifat-sifat lainya. Beberapa bahan pangan menjadi rusak pada suhu penyimpangan yang terlalu rendah.
Prinsip pengawetan bahan makanan didasarkan atas bagaimana caranya memanipulasikan faktor – faktor linkungan bahan makanan yang dimaksud. Sebagai contoh mikroba membutuhkan suhu optic untuk pertumbuhannya. Suhu yang lebih tinggi merusak pertumbuhan sedangkan suhu yanag lebih rendah sanagat menghambat metabolisme.
Metabolisme mikroba memerlukan banyak air vbebes penghilangan air secara biologis aktif dengan perlakuan pengeringan atau dehidrasi menghentikan pertumbuhan mokroba. Perlakuan ini juga menurunkan akti fitas enzim dan reaksi – reaksi kimia. Proses ketengikan lipid akan menurun apabila air sruktural yang melindungi dibiarkan tetap seperti semula. Pengaruh penuapan air terhadap perubahan zat gizi dalam prose pengeringan relative kecil kalau suhu pengeringannya sedang dan bahan makanan dikemas cukup baik. Pengeringan beku yaitu pengringan sublimasi dalam ruangan vakum pada suhu rendah mnemberikan keuntungan lebih daripada pengeringan suhu tinggi ditinjau dari sudut pengawetan gizi.
Ada 6 dasar prinsip pengolahan bahan makanan untuk pengawetan. Keenam prinsip ini adalah :
1.      Pengurangan air – pengeringan, dehidrasi, dan pengentalan
2.      Perlakuan panas – blanching, pasteurisasi, dan sterilisasi
3.      Perlakuan suhu rendah – pendinginan dan pembekuan
4.      Pengendalian makanan – fermentasi dan aditif asam
5.      Berbagai macam zat kimia aditif
6.      Iradiasi

1.3    Tujuan Makalah

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas maka, tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Mekanisme Frozen Fish dalam Ilmu pengetahuan
2.      Mampu merasionalisasikan Frozen food dalam keseharian
3.      Memberikan tambahan ilmu bagi kalangan mahasiswa dan umum
4.      Memahami penyebab pembekuan pada ikan
5.      Memahami perubahan biokimia pada ikan
6.      Penyebab penurunan mutu ikan
7.      Menjadi salah satu tugas kuliah dalam matakuliah pengantar teknologi hasil perikanan.




II.                TINJAUAN PUSTAKA

2.1    Definisi Makanan Beku ( Frozen Food )

Makanan beku (frozen food) adalah makanan yang dibekukan dengan tujuan untuk mengawetkan makanan hingga siap dimakan. Sejak zaman dahulu, petani, nelayan, dan pemburu telah mengawetkan hasil usaha mereka di bangunan yang tidak terhangatkan ketika musim dingin. Pembekuan memperlambat dekomposisi dengan mengubah kadar air yang tersisa menjadi es dan menghambat pertumbuhan sebagian besar spesies bakteri.
Pada dasarnya terdapat dua jenis proses pembekuan makanan, yaitu secara mekanik dan secara kriogenik (flash freezing). Kinetika pembekuan berperan penting dalam nenentukan kualitas makanan yang dibekukan. Pembekuan yang cepat menyebabkan partikel air di dalam makanan yang membeku membentuk partikel es berukuran kecil. Pembekuan yang lambat cenderung menghasilkan partikel es berukuran besar sehingga merusak tekstur bagian dalam makanan. Pembekuan kriogenik saat ini merupakan teknologi pembekuan tercepat karena penggunaan nitrogen cair. Secara umum perkembangan teknologi pembekuan menuju kepada proses pembekuan yang lebih cepat dan efisien secara energi dan biaya.

Pembekuan secara mekanik dikembangkan terlebih dahulu dalam dunia industri dan masih menjadi metode pembekuan yang utama sampai sekarang. Pembekuan mekanik mensirkulasikan refrigeran dalam sebuah sistem yang mengambil panas di lingkungan sekitar makanan. Panas lalu dipindahkan ke kondenser dan dilepaskan ke lingkungan lewat konveksi ke udara maupun melalui cairan lainnya. Refrigeran dalam siklusnya terus menerus berubah fase dari cair menjadi gas, dari tekanan tinggi ke tekanan rendah.
Pembekuan secara kriogenik adalah pengembangan terbaru dari teknologi pembekuan makanan. Kriogenik memanfaatkan gas yang memiliki temperatur yang sangat rendah, biasanya nitrogen dalam wujud cair atau karbon dioksida dalam wujud padat (biang es) dan diterapkan secara langsung ke makanan.
Pembekuan makanan adalah cara yang efektif dalam mengawetkan makanan karena patogen penyebab kerusakan makanan tidak dapat tumbuh, bahkan mati, pada temperatur beku. Namun proses ini kurang efektif dalam melawan patogen dibandingkan dengan proses termal seperti perebusan, karena bakteri, walau pertumbuhannya terhenti, namun masih dapat hidup pada temperatur dingin. Masalah yang terdapat pada proses pembekuan makanan adalah bahaya kemungkinan patogen dapat aktif kembali setelah makanan beku dinormalkan kembali.
Makanan dapat diawetkan selama beberapa bulan dengan pembekuan. Penyimpanan beku jangka panjang membutuhkan temperatur -18 °C atau lebih rendah dari itu.
Laju pembekuan memiliki dampak langsung terhadap ukuran dan jumlah kristal es yang terbentuk di dalam sel-sel makanan dan ruang antar sel. Pembekuan yang lambat membentuk jumlah kristal es yang sedikit namun berukuran besar, dan sebaliknya, pembekuan yang cepat menghasilkan jumlah kristal es yang banyak namun berukuran kecil. Ukuran kristal es yang besar dapat "menusuk" dinding sel dan menyebabkan kualitas tekstur berkurang. Namun tingkat kerusakan ini tidak sama pada setiap jenis makanan sehingga setiap produk dapat memiliki laju pembekuan optimal yang berbeda-beda
Makanan beku umumnya tidak membutuhkan bahan tambahan makanan lainnya karena mikroorganisme sudah terhambat pertumbuhannya pada tempratur beku dan hal itu cukup untuk menahan laju pembusukan. Namun untuk pembekuan jangka panjang pada temperatur yang lebih rendah dari -9.5°C, bahan makanan dapat ditambahkan dengan karboksimetilselulosa (CMC) yang berfungsi sebagai penstabil. CMC tidak memiliki rasa, tidak memiliki bau, dan tidak merusak kualitas bahan makanan.


III.             PEMBAHASAN

3.1    Perubahan Biokimia Pada Ikan
Ikan merupakan bahan pangan yang mudah rusak (membusuk). Hanya dalam waktu 8 jam sejak ikan di tangkap dan di daratkan sudah akan timbul proses perubahan yang mengarah pada kerusakan (Adwyah, 2007) dan penurunan mutu (deteriorasi) (Erlangga, 2009). Faktor-faktor utama untuk mempengaruhi mutu ikan adalah penerapan suhu rendah (pendinginan), kecermatan, kebersihan (hygiene) serta kecepatan kerja (faktor waktu) (Pearson dan Duston, 1996 dalam Erlangga, 2012). Kesegaran bahan mentah ikan merupakan criteria kualitas paling penting untuk menentukan mutu dan daya awet dari produk yang di bekukan (Ilyas, 1983 dalam Erlangga, 2012).
Mutu daging ikan yang baik adalah ketika belum terjadi perubahan biokimia, mikrobiologi, dan fisika yang mengarah kepada kerusakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mutu daging ikan antara lain metode preparasi, kebersihan (hygiene), dan lama penyimpanan (Silva et al., 2005 dalam Erlangga, 2012). Penurunan tingkat kesegaran daging ikan terlihat dengan adanya perubahan fisik, kimia dan organoleptik pada daging ikan. Semua proses perubaan ini akirnya mengarah ke pembusukan. Urutan proses perubahan tersebut meliputi perubahan pre rigor, rigor mortis, aktivitas enzim, aktivitas mikroba dan oksidasi ( Afrianto dan Liviawaty, 1989). Hal tersebut yang di sebut dengan peristiwa post mortem yakni salah satu indikasi kemunduran mutu pada daging ikan (Erlangga, 2009).
Fase pre rigor di tandai dengan lender yang terlepas dari kelenjar di bawah kulit di sekeliling tubuh ikan ( Erikson dan misimi, 2008 dalam Erlangga, 2009). Kondisi daging ikan pada fase ini lembut dan lunak, dan secara kimiawi di tandai dengan penurunan jumlah ATP dan keratin fosfat. Sirkulasi darah berhenti pada awal kematian ikan dan menyebabkan habisnya aliran oksigen di dalam jaringan (Eskin, 1990 dalam Erlangga, 2009). Afrianto dan Liviawaty (1989) menambahkan bahwa terhentinya aliran oksigen ke dalam jaringan peredaran darah menyebabkan terjadinya reaksi anaerob. Reaksi anaerob akan memanfaatkan ATP dan glikogen yang telah terbentuk selam ikan masih hidup, sebagai sumber energi, sehingga jumlah ATP terus berkurang.
Fase rigor mortis di tandai dengan keadaan otot yang kaku dan keras. Hilangnya kelenturan daging ikan berhubungan dengan terbentuknya aktomiosin pada awal fase rigor (Eskin, 1990 dalam Erlangga, 2009). Pembentukan aktomiosin ini berlangsung lambat pada tahap awal dan kemudian menjadi cepat pada tahap selanjutnya. Pada fase rigor mortis, sumber enerigi atau ATP akan berkurang akibat aktivitas enzim ATPase yang di ikuti oleh perubahan glikogen menjadi asam laktat. Perubahan glikogen pada daging ikan menyebabkan penurunan nilai pH. Perubahan glikogen menjadi asam laktat terjadi pada proses glikolisis (Eskin, 1990 dalam Erlangga, 2009). Kandungan glikogen yang tinggi dapat memperlambat proses glikolisis pada daging ikan sehingga dapat menunda datangnya proses rigor mortis. Pada fase rigor mortis, nilai pH daging ikan akan mengalami penurunan menjadi 6,2-6,6 dari pH mula-mula 6,9-7,2. Tinggi rendahnya pH awal ikan sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga pada daging ikan. Kekuatan penyangga pada daging ikan di sebabkan oleh protein, asam laktat, asam fosfat, trimetilaminoksida dan basa-basa menguap. Nilai pH daging ikan akan terus naik mendekati netral setelah fase rigor mortis berakhir (Farber, 1965 dalam Erlangga, 2009). Penurunan mutu pada fase rigor mortis di akibatkan pula oleh serangan bakteri. Pada ikan hidup terdapat bakteri dalam jumlah besar yakni pada saluran pencernaan, insang, saluran darah, dan permukaan kulit, tetapi bagian tubuh ikan tersebut mempunyai barrier terhadappenyangga bakteri kedalam daging ikan. Setelah ikan mati kemampuan barrier ikan tersebut akan hilang sehingga bakteri akan segera masuk kedalam daging ikan melalui keempat bagian tersebut (Connel, 1980 dalam Hartatik, 2007). Bakteri yang umum di temukan pada ikan adalah bakteri dari golongan Pseudomonas, Alcaligenes, Micrococus, Sarcina, Flavorbacterium, Serratia, Vibio, dan Bacillus. Ada ikan segar yang baru di tangkap yang dominan adalah bakteri jenis Micrococus dan Flavobacterium, kemudian setelah pembusukan berlangsung dominasi beralih kepada jenis-jenis bakteri pembusuk seperti Pseudomonas dan Achromobacter (Ilyas, 1983 dalam Erlangga, 2009).
Fase post rigor di tandai dengan mulai melakukan otot secara bertahap. Fase pos rigor merupakan permulaan dari proses pembusukan yang meliputi autolisis dan pembusukan oleh bakteri (Erlangga, 2009). Autolysis adalah proses penguraian organ-organ tubuh ikan oleh enzim-enzim yang terdapat dalam tubuh ikan sendiri. Fase ini terjadi setelah ikan mati melewati fase rigor mortis. Selama ikan hidup, enzim-enzim yang terdapat dalam tubuh berasal dari daging (cathepsin), enzim pencernaan (trypsin, chemotrypsin, dan pepsin) atau enzim dari mikroorganisme yang terdapat dalam saluran pencernaan akan membentu proses metabolism makanan. Ketikan ikan mati, enzim-enzim yang terdapat dalam ikan masih mempunyai kemampuan untuk bekerja secara aktif, tetapi karena jaringan otak sebagai organ pengontrol sudah tidak dapat berfungsi lagi maka sistem kerja enzim tersebut menjadi tidak terkontrol dan dapat merusak organ tubuh lainnya seperti dinding usus, otot daging, serta menguraikan senyawa kompleks menjadi sederhana. Peristiwa inilah yang di sebut dengan autolisis. Proses autolisis, biasanya selalu di ikuti dengan meningkatnya jumlah bakteri, sebab semua hasil penguraian enzim selama proses autolisis merupakan media yang sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri dan mikroorganisme lain (Afrianto dan Liviawaty, 1989).
Puspitasari (2012) menambahkan bahwa enzim proteolitik yang terdapat dalam otot dan isi rongga perut pada ikan yang telah di tangkap, berperan dalam proses penurunan kualitas ikan dan produk perikanan selama masa penyimpanan dan pengelohan. Di lain sisi, peptide dan asam amino bebas yang merupakan produk/hasil dari autolisis pada protein otot ikan, dapat menyebabkan pertumbuhan mikroba dan produksi amina biogenik, yang kemudian mengakibatkan kebusukan pada ikan.
3.2    Penyimpanan Beku Pada Ikan
Pembekuan menurut Zaitsev et al., (1969) adala sebuah proses di mana suhu ikan mentah berkurang dari tingkat awal menjadi antara -160C dan -180C, dan sebagian besar dari cairan di dalamnya diubah menjadi es. Adawyah (2007) menambahkan bahwa dalam keadaan beku dapat menghambat aktivitas bakteri dan enzim sehingga daya awet ikan beku lebih besar di bandingkan ikan yang tanpa perlakuan pendinginan. Pada suhu -120C, aktivitas bakteri dapat di hentikan namun proses kimia enzimatis tetap terus berjalan. Dalam tubuh ikan sebagian besar (60%-80%) terdiri atas cairan yang terdapat di dalam sel, jaringan, dan ruangan-ruangan antar sel. Cairan tersebut berupa koloid encer yang mengandung berbagai macam garam (kalium fosfat dasar) dan protein. Sebagian cairan tersebut (± 67%) berupa free water dan selebihnya adalah (± 5%) bound water. Ikan mulai mengalami pembekuan pada suhu antara -0,60C sampai -20C, atau rata-rata -10C. yang mula-mula membeku adalah free water kemudian disusul dengan bound water.
Pada penyimpanan beku, air pada jaringan produk akan membeku sehingga mobilisasi mikroorganisme dapat di hambat sehingga fungsi biologisnya yang menyebabkan pembusukan tidak dapat terjadi. Pada beberapa jenis mikroorganisme tetap dapat tumbuh pada suhu rendah. Jenis mikroorganisme psycrophilic dapat tumbuh pada suhu di bawah 00C. jenis ini bakteri psycrophilic yang umum terdapat di dalam produk makanan adalah Pseudomonas dan Enterococcus (Hartatik, 2007). Menurut Connell (1980) dalam Hartatik (2007), bakteri Pseudomonas dan Enterococcus secara alami sudah terdapat di dalam badan ikan.
Arifin et al., (2012) menjelaskan bahwa ikan yang di bekukan dapat mencegah kerusakan mikroba karena otot protein mengalami sejumlah perubahan yang tidak dapat larut dan membentuk agregat yang memodifikasi struktur dan fungsinya. Di ketahui pula bahwa oksidasi lemak dapat terjadi selama proses penyimpanan dan hal itu di pengaruhi oleh faktor variable suhu penyimpanan, aktivitas air dan suhu kemasan yang dapat mempengaruhi tingkat proses degradasi. Tingkat oksidasi produk meningkat dengan seiringnya waktu penyimpanan dan suhu.
Secara garis besarnya, pengawetan dengan suhu rendah pada ikan dapat di kelompokkan menjadi dua metode, yaitu :
1.      Cooling
Di lakukan pada temperature 40C sampai -10C, dengan menggunakan cara ini pertumbuhan mikroganisme akan terhambat, sehingga kesegaran ikan dapat di pertahankan untuk beberapa waktu yang singkat.
2.      Freezing
Cara penanganan ini di lakukan pada suhu -180C sampai -300C, dengan di simpan pada suhu serendah itu, pertumbuhan mikroorganisme akan benar-benar dapat terhenti dan ikan dapat di simpan dalam jangka waktu yang lebih lama. Kedua cara pengawetan tersebut cukup efektif di gunakan untuk meghambat pertumbuhan mikroorganisme pada ikan. Akan tetapi, perubahan enzimatis dan non enzimatis di dalam tubuh ikan sendiri akan tetap berlangsung hanya saja dengan kecepatan yang lebih rendah (puspitasari, 2012).
3.3    Pengaruh Pembekuan Terhadap Mutu Ikan
Perlakuan freezing untuk pengawetan ikan tidak bias mencegah hilangnya kandungan asam amino dalam ikan. Akan tetapi, reaksi fisika dan biokimia yang dapat menyebabkan kebusukan pada ikan dapat di hambat oleh proses pembekuan ini. Kualitas akhir dari ikan tergantung pada kualitas ikan dalam masa pengawetan pembekuan, yang juga berkaitan dengan suhu pembekuan, serta kecepatan pembekuan dan distribusi.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, kecepatan pembekuan menjadi faktor utama yang berperan penting dalam menentukan kualitas akhir ikan hasil pembekuan. Pembekuan cepat dapat menghasilkan kualitas ikan beku yang lebih baik dari pada pembekuan lambat, karena pada pembekuan lambat akan terbentuk Kristal-kristal es yang lebih besar, yang dapat merusak dinding sel ikan menyebabkan terjadinya denaturasi protein. Perubahan yang terjadi pada protein ikan akan mengakibatkan kepudaran dan kekeruhan pada tektur serta melunaknya jaringan di tubuh ikan, yang sangat mempengaruhi kualitas akhir ikan ( Puspitasari, 2012).
Selama masa penyimpanan dingin, dekomposisi Thimethyalamine Oxide pada ikan dan hasil laut lainnya, akan menghasilkan pembentukan trimethylamine dan dimethyalamine yang dapat menyebabkan hilangnya aroma asli dari ikan segar. Selain itu, pada pengawetan beku yang berkelanjutan, ikan juga akan mengalami penurunan nilai protein dan lemak, serta mengalami peningkatan jumlah mikroba pembusuk. Perubahan autolisis juga tetap dapat terjadi pada ikan yang di simpan pada suhu rendah ( chilled or frezon fish) ( Puspitasari, 2012). Seperti pada percobaan yang di lakukan oleh Arannilewa et al., (2005), menunjukan bahwa terjadinya penurunan protein dan lemak sebesar 27,9 dan 25,92%, serta peningkatan jumlah koliform dari 3,0x103 sampai 7,5x106 selama masa penyimpanan.
Arannilewa et al., (2005) menjelaskan bahwa perubahan dalam lemak selam penyimpanan beku berhubungan dengan oksidasi lemak. Oksidasi lemak meliputi tiga tahapan mekanisme radikal bebas, yaitu inisiasi, propagasi, dan terminisasi. Inisiasi meliputi pembentukan radikal bebas dari lemak melalui katalis, seperti panas, ion, logam, dan iradiasi. Radikal bebas yang terbentuk ini kemudian bereaksi dengan oksigen dan membentuk radikal peroksil. Selam proses propagasi, radikal peroksil tersebut bereaksi dengan molekul lemak lain untuk membentuk hidroperoksidasi dan radikal bebas yang baru. Terminisasi akan terjadi ketika pembentukan radikal bebas tersebut saling berinteraksi saling membentuk produk non-radikal.
Secara umum, oksidasi adalah reaksi yang terjadi antara oksigen dengan ikan ganda pada asam lemak. Oleh karena itu, lemak pada tubuh ikan yang terdiri atas asam lemak tak jenuh ( PUFA) mempunyai resiko yang tinggi untuk terjadinya oksidasi. Oksidasi lemak pada ikan dapat terjadi secara enzimatis maupun non –enzimatis.
Hidrolisis enzimatis lemak oleh lipase di sebut dengan lipolisis (kerusakan lemak) dalam proses ini, lipase memecah gliserida  dan membentuk asam-asam lemak bebas yang mengakibatkan hilangnya flavor, mempercepat ketengikan, dan menurunkan kualitas minyaknya. Enzim lipase yang berperan dalam proses ini adalah lipase yang terdapat pada kulit, darah, serta jaringan dalam tubuh ikan. Enzim utama dalam hidrolisis lemak ikan adalah triacyl lipase, phospholipase A2 dan phospholipase B.
Oksidasi non-enzimatis terjadi karena katalisis senyawa hematin (hemoglobin, mioglobin, dan cytochrome) yang menghasilkan hidroperoksida. Asam lemak yang terbentuk selama proses hidrolisis lemak ikan akan beriteraksi dengan protein myofibrillar dan sarkoplasma yang menyebabkan denaturasi. Undelan et al., (1998) dalam Puspitasari (2012) menyatakan bahwa oksidasi lemak dapat terjadi pada otot ikan sehubungan dengan ketingginya hemoglobin yang mendukung terjadinya oksidasi, menurunkan pH, dapat mempercepat oksidasi lemak melalui Hb yang telah terdeoksigenasi ( Puspitasari, 2012).
Doughikollaee (2012) menambahkan bahwa selama penyimpanan beku dapat terjadi adanya pertumbuhan es kristal yang dapat meningkatkan pengkerutan pada serat otot dan dapat memisahkan struktur selular yang di hasilkan pada banyaknya drip loss. Suhu penyimpanan sebaiknya kurang dari -180C untuk kualitas yang optimal. Beberapa studi juga menyatakan bahwa drip loss meningkat seiring dengan lamanya penyimpanann beku.


IV.             PENUTUP
4.1    Simpulan
Makanan beku (frozen food) adalah makanan yang dibekukan dengan tujuan untuk mengawetkan makanan hingga siap dimakan. Sejak zaman dahulu, petani, nelayan, dan pemburu telah mengawetkan hasil usaha mereka di bangunan yang tidak terhangatkan ketika musim dingin. Pembekuan memperlambat dekomposisi dengan mengubah kadar air yang tersisa menjadi es dan menghambat pertumbuhan sebagian besar spesies bakteri.
Ada 6 dasar prinsip pengolahan bahan makanan untuk pengawetan. Keenam prinsip ini adalah :
1.      Pengurangan air – pengeringan, dehidrasi, dan pengentalan
2.      Perlakuan panas – blanching, pasteurisasi, dan sterilisasi
3.      Perlakuan suhu rendah – pendinginan dan pembekuan
4.      Pengendalian makanan – fermentasi dan aditif asam
5.      Berbagai macam zat kimia aditif
6.      Iradiasi
4.2    Saran
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, di butuhkan saran berupa kritik, solusi, dan masukan yang positif demi menyepurnakan makalah ini, sehingga penulis bisa menyempurnakan makalah yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar