I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Pangan pada hakikatnya merupakan kebutuhan dasar yang penting untuk
kehidupan manusia dan yang paling hakiki untuk mempertahankan kelangsungan
hidupnya. Pada umumnya dalam mengolah pangan diberikan beberapa perlakuan dalam
berbagai cara antara lain dengan penambahan bahan tambahan dengan tujuan untuk memperpanjang umur simpan, memperbaiki tekstur, kelezatan atau kenampakan.
Mengingat
pentingnya keamanan pangan maka telah diwujudkan oleh pemerintah dengan di
keluarkannya Undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan dan
Undang-undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan serta Peraturan Pemerintah
Nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. (Anggraini, 2008)
Teknologi
pengolahan pangan di Indonesia sekarang berkembang cukup pesat, diiringi dengan
penggunaan bahan tambahan pangan yang juga makin meningkat. Berkembangnya
produk pangan awet saat ini, hanya mungkin terjadi karena semakin tingginya
kebutuhan masyarakat terhadap berbagai jenis makanan yang praktis dan awet.
Kesalahan teknologi dan penggunaan bahan tambahan yang diterapkan, baik sengaja
maupun tidak disengaja dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan atau keamanan
konsumen. (Anggraini, 2008)
Munculnya
masalah keamanan pangan salah satu penyebabnya adalah adanya bahan kimia
berbahaya yang masuk kedalam tubuh manusia yang berasal dari bahan tambahan dan
kontaminan. Penggunaan bahan tambahan pangan yang baik dan sesuai dengan
ketentuan, menjadi harapan para konsumen. Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui
lebih lanjut mengenai bahan tambahan pangan (BTP).
1.2
Rumusan Masalah
Penggunaan warna
pangan yang aman telah diatur melalui peraturan Menteri Kesehatan RI No.
772/Menkes/Per/IX/88, yang mengatur mengenai pewarna yang di larang di gunakan
dalam pangan, pewarna yang diizinkan serta batas penggunaannya, termasuk
penggunaan bahan pewarna alami. Akan tetapi masih banyak produsen pangan,
terutama pengusaha kecil yang menggunakan bahan-bahan pewarna yang dilarang dan
berbahaya bagi kesehatan, misalnya pewarna untuk tekstil atau cat. Hal ini
disebabkan pewarna tekstil atau cat umumnya mempunyai warna lebih cerah, lebih
stabil selama penyimpanan serta harganya lebih murah dan produsen pangan belum
mengetahui dan menyadari bahaya dari pewarna-pewarna tersebut.
Beberapa pewarna
terlarang dan berbahaya yang sering ditemukan pada pangan, terutama pangan
jajanan, adalah Metanil Yellow
(kuning metanil) yang berwarna kuning, dan Rhodamin
B yang berwarna merah. Bahan pewarna kuning dan merah tersebut sering
digunakan dalam berbagai macam pangan seperti sirup, kue-kue, agar, tahu,
pisang, tahu goreng, dan lain-lain. Kedua pewarna ini telah dibuktikan
menyebabkan kanker yang gejalanya tidak dapat terlihat langsung setelah mengkonsumsi.
Oleh karena itu, dilarang di gunakan dalam pangan walaupun jumlahnya sedikit.
Alternatif lain
untuk menggantikan penggunaan pewarna sintesis adalah dengan menggunakan
pewarna alami seperti ekstrak daun pandan atau daun suji, kunyit dan ekstrak
buah-buahan yang pada umumnya lebih aman. Penggunaan bahan pewarna alami juga
ada batasnya sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.
Beberapa pewarna
alami yang diizinkan dalam pangan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
772/Menkes/RI/Per/IX/88 diantaranya adalah :
1.
Karamel, yaitu pewarna
alami berwarna coklat yang dapat digunakan untuk mewarnai jem/jeli (200 mg/kg),
acar ketimun dalam botol (300 mg/kg), dan yogurt beraroma (150 mg/kg).
2.
Beta-karoten, yaitu
pewarna alami berwarna merah-orange yang dapat digunakan untuk mewarnai acar
ketimun dalam botol (300 mg/kg), es krim (100 mg/kg), keju (600 mg/kg), lemak
dan minyak makan (secukupnya).
3.
Kurkumin, yaitu pewarna alami berwarna kuning-orange yang dapat
digunakan untuk mewarnai es krim dan sejenisnya (50 mg/kg), atau lemak dan
minyak makan (secukupnya).
1.3
Tujuan Makalah
Berdasarkan
rumusan masalah tersebut di atas maka, tujuan dari penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut :
1.
Memberikan informasi tentang bahan
tambahan pangan
2.
Memberikan tambahan ilmu bagi kalangan
mahasiswa dan umum
3.
Memahami pengertian zat pemanis
4.
Menjadi salah satu tugas kuliah dalam
matakuliah pengantar teknologi hasil perikanan.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Definisi Bahan
Tambahan Pangan ( BTP )
Pengertian
bahan tambahan pangan secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan
sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai
atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan kedalam
makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan penyiapan, perlakuan,
pengepakan, pengemasan, dan penyimpanan (Cahyadi, 2006).
Peraturan
pemerintah nomor 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan pada bab
1 pasal 1 menyebutkan, yang dimaksud dengan bahan tambahan pangan adalah bahan
yang ditambahkan kedalam makanan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan
atau produk pangan.
Menurut
FAO dalam Furia (1968), bahan
tambahan pangan adalah senyawa yang sengaja ditambahkan kedalam makanan dengan
jumlah dan ukuran tertentu dan terlibat dalam proses pengolahan, pengemasan,
dan atau penyimpanan. Bahan ini berfungsi untuk memperbaiki warna, bentuk, cita
rasa, dan tekstur, serta memperpanjang masa simpan, dan bukan merupakan bahan (ingredient)
utama. Menurut Codex, bahan tambahan pangan adalah bahan yang tidak lazim
dikonsumsi sebagai makanan, yang dicampurkan secara sengaja pada proses
pengolahan makanan. Bahan ini ada yang memiliki nilai gizi dan ada yang tidak
(Saparinto, 2006).
Pemakaian
Bahan Tambahan Pangan di Indonesia diatur oleh Departemen Kesehatan. Sementara,
pengawasannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengawasa Obat dan Makanan
(Dirjen POM, 1995).
2.2
Jenis Bahan
Tambahan Pangan
Tujuan
penggunaan bahan tambahan pangan adalah dapat meningkatkan atau mempertahankan
nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan lebih mudah
dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan. Pada umumnya bahan
tambahan pangan dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut:
1. Bahan
tambahan pangan yang ditambahkan dengan sengaja kedalam makanan, dengan
mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud penambahan itu dapat
mempertahankan kesegaran, cita rasa dan membantu pengolahan, sebagai contoh pengawet,
pewarna dan pengeras.
2. Bahan
tambahan pangan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan yang tidak
mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara tidak sengaja, baik
dalam jumlah sedikit atau cukup banyak akibat perlakuan selama proses produksi,
pengolahan, dan pengemasan. Bahan ini dapat pula merupakan residu atau
kontaminan dari bahan yang sengaja ditambahkan untuk tujuan produksi bahan
mentah atau penanganannya yang masih terus terbawa kedalam makanan yang akan
dikonsumsi. Contoh bahan tambahan pangan dalam golongan ini adalah residu
pestisida (termasuk insektisida, herbisida,
fungisida, dan rodentisida), antibiotik, dan hidrokarbon aromatic polisiklis.
Bahan
tambahan pangan yang digunakan hanya dapat dibenarkan apabila :
1. Dimaksudkan
untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaan dalam pengolahan;
2. Tidak
digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak
memenuhi persyaratan;
3. Tidak
digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara
produksi yang baik untuk pangan;
4. Tidak
digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan.
Penggunaan
bahan tambahan pangan sebaiknya dengan dosis dibawah ambang batas yang telah
ditentukan. Jenis BTP ada 2 yaitu GRAS (Generally Recognized as Safe),
zat ini aman dan tidak berefek toksik misalnya gula (glukosa). Sedangkan jenis
lainnya yaitu ADI (Acceptable Daily Intake), jenis ini selalu ditetapkan
batas penggunaan hariannya (daily intake) demi menjaga/ melindungi
kesehatan konsumen.
Di
Indonesia telah disusun peraturan tentang Bahan Tambahan Pangan yang diizinkan
ditambahkan dan yang dilarang (disebut Bahan Tambahan Kimia) oleh Depertemen
Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1168/MenKes/Per/X/1999.
2.3 Fungsi Bahan Tambahan Pangan
Beberapa
Bahan Tambahan yang diizinkan digunakan dalam makanan menurut Permenkes RI No.
722/Menkes/Per/IX/1988 diantaranya sebagai berikut :
1.
Antioksidan (Antioxidant)
2.
Antikempal (Anticaking Agent)
3.
Pengatur Keasaman (Acidity Regulator)
4.
Pemanis Buatan (Artificial Sweeterner)
5.
Pemutih dan Pematang Telur (Flour
Treatment Agent)
6.
Pengemulsi, Pemantap, dan Pengental (Emulsifier,
Stabilizer, Thickener)
7.
Pengawet (Preservative)
8.
Pengeras (Firming Agent)
9.
Pewarna (Colour)
10. Penyedap Rasa dan Aroma,
Penguat Rasa (Flavour, Flavour Enhancer)
11. Sekuestran (Sequestrant)
Beberapa bahan Tambahan yang dilarang digunakan dalam makanan,
menurut Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988 diantaranya sebagai berikut :
1.
Natrium Tetraborat (Boraks)
2.
Formalin (Formaldehyd)
3.
Minyak nabati yang
dibrominasi (Brominated Vegetable Oils)
4.
Kloramfenikol (Chlorampenicol)
5.
Kalium Klorat (Pottasium
Chlorate)
6.
Dietilpirokarbonat (Diethylpyrocarbonate)
7.
Nitrofuranzon (Nitrofuranzone)
8.
P-Phenetilkarbamida (p-Phenethycarbamide,
Dulcin, 4-ethoxyphenyl urea)
9.
Salisilat dan garamnya (Salilicylic
Acid and its salt)
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
722 / Menkes / Per / IX / 1988, selain bahan tambahan diatas masih ada bahan
tambahan kimia yang dilarang seperti rhodamin
B (pewarna merah), methanyl yellow
(pewarna kuning), dulsin (pemanis
sintesis), dan kalsium bromat
(pengeras).
III.
PEMBAHASAN
3.1
Zat Pemanis
3.1.1
Pengertian Zat Pemanis
Pemanis merupakan senyawa kimia
yang sering ditambahkan dan digunakan untuk keperluan produk olahan pangan,
industri, serta minuman dan makanan kesehatan. Pemanis berfungsi untuk
meningkatkan cita rasa dan aroma, memperbaiki sifat-sifat fisik, sebagai
pengawet, memperbaiki sifat-sifat kimia sekaligus merupakan sumber kalori bagi
tubuh, mengembangkan jenis minuman dan makanan dengan jumlah kalori terkontrol,
mengontrol program pemeliharaan dan penurunan berat badan, mengurangi kerusakan
gigi, dan sebagai bahan substitusi pemanis utama (Cahyadi, 2006).
3.1.2
Hubungan Struktur dan rasa Manis
Faktor-faktor yang perlu
diperhatikan untuk mengetahui hubungan struktur kimia bahan pemanis dengan rasa
manis adalah (Cahyadi, 2006) :
1.
Mutu rasa manis
Faktor
ini sangat bergantung dari sifat kimia bahan pemanis dan kemurniannya. Dari uji
sensoris menunjukkan tingkat mutu rasa manis yang berbeda antara bahan pemanis
satu dengan yang lainnya. Bahan alami yang mendekati rasa manis, kelompok gula
yang banyak dipakai sebagai dasar pembuatan bahan pemanis sintesis adalah
asam-asam amino. Salah satu dipeptida seperti aspartam memiliki rasa manis
dengan mutu yang serupa dengan kelompok gula dan tidak memiliki rasa ikutan.
Sedangkan pada sakarin dan siklamat menimbulkan rasa ikutan pahit yang semakin
terasa dengan bertambah bahan pemanis. Rasa pahit tersebut diduga terkait
dengan struktur molekulnya, karena dengan pemurnian yang bagaimanapun tidak
dapat menghilangkan rasa pahit.
2. Intensitas
rasa manis
Intensitas
rasa manis menunjukkan kekuatan atau tingkat dasar kemanisan suatu bahan
pemanis. Intensitas rasa manis berkaitan dengan nilai relatif rasa manis dalam
yang sama maupun yang berbeda antara masing-masing bahan pemanis. Masing-masing
pemanis berbeda kemampuannya untuk merangsang indra perasa. Kekuatan rasa manis
yang ditimbulkan oleh bahan pemanis dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya adalah suhu dan sifat mediumnya (cair atau padat). Harga intensitas
rasa manis biasanya diukur dengan membandingkannya dengan kemanisan sukrosa
10%. Beberapa contoh jenis rasa manis suatu pemanis sintesis relatif terhadap
sukrosa dan dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.
3. Kenikmatan
rasa manis
Bahan
pemanis ditambahkan dengan tujuan untuk memperbaiki rasa dan bau bahan pangan
sehingga rasa manis yang timbul dapat meningkatkan kelezatan. Dari berbagai
pemanis tidak sempurna dapat menimbulakan rasa nikmat yang dikehendaki. Pada
pemanis sintesis seperti sakarin malah tidak dapat menimbulkan rasa nikmat
malah memberikan rasa yang tidak menyenangkan. Tetapi penggunaan campuran
sakarin dan siklamat pada bahan pangan dapat menimbulkan rasa manis dan tanpa
menimbulkan rasa pahit. Meskipun rasa manis yang tepat sangat disukai, tetapi
pemanis yang berlebihan akan terasa tidak enak. Pemanis mempunyai harga
toleransi yang berbeda antara kelompok masyarakat bahkan antarindividu.
3.1.3
Jenis Zat Pemanis
Dilihat dari sumber pemanis dapat
dikelompokkan menjadi pemanis alami dan pemanis buatan/ sintesis (Cahyadi,
2006) :
3.1.3.1
Pemanis Alami
Pemanis
alam biasanya berasal dari tanaman. Tanaman penghasil pemanis yang utama adalah
tebu (Saccharum officanarum L) dan bit (Beta vulgaris L). bahan pemanis yang dihasilkan dari
kedua tanaman tersebut terkenal sebagai gula alam atau sukrosa. Beberapa bahan
pemanis alam yang sering digunakan adalah :
Gula umumnya digunakan sebagai
padanan kata untuk sakarosa. Secara kimiawi gula identik dengan karbohidrat.
Beberapa jenis gula dan berbagai produk terkait: Gula Granulasi (Gula Pasir):
kristal-kristal gula berukuran kecil yang pada umumnya dijumpai dan digunakan
di rumah (gula pasir).
Gula batu: Gula batu tidak
semanis gula granulasi biasa, gula batu diperoleh dari Kristal bening berukuran
besar bewarna putih atau kuning kecoklatan. Kristal bening dan putih dibuat
dari larutan gula jenuh yang mengalami kristalisasi secara lambut. Gula batu
putih memiliki rekahan-rekahan kecil yang memantulkan cahay. Kristal berwarna
kuning kecoklatan mengandung berbagai caramel. Gula ini kurang manis karena
adanya air dalam Kristal.
Rumus kimia sukrosa: C12H22O11
merupakan suatu disakarida yang dibentuk dari monomer-monomernya yang berupa
unit glukosa dan fruktosa. Senyawa ini dikenal sebagai sumber nutrisi serta
dibentuk oleh tumbuhan, tidak oleh organisme lain seperti tumbuhan. Sukrosa
atau gula dapur diperoleh dari gula tebu atau gula bit
3.1.3.2
Pemanis Buatan
Pemanis buatan (sintesis) merupakan
bahan tambahan yang dapat memberikan rasa manis dalam makanan, tetapi tidak
memiliki nilai gizi (Yuliarti, 2007).
Sekalipun penggunaanya diizinkan,
pemanis buatan dan juga bahan kimia lain sesuai peraturan penggunaannya harus
dibatasi. Alasannya, meskipun pemanis buatan
tersebut aman dikonsumsi dalam kadar kecil, tetap saja dalam batas-batas
tertentu akan menimbulkan bahaya bagi kesehatan manusia maupun hewan yang
mengkonsumsinya. Pembatasan tersebut kita kenal dengan ADI (Acceptable Daily
Intake) atau asupan harian yang dapat diterima. ADI merupakan jumlah
maksimal pemanis buatan dalam mg/kg berat badan yang dapat dikonsumsi tiap hari
selama hidup tanpa menimbulkan efek yang merugikan kesehatan (Yuliarti, 2007).
Penetapan jenis pemanis yang
diijinkan dan batas ADI di Indonesia lebih mengacu peraturan yang dikeluarkan
oleh US Food and Drug Administration (FDA) atau Codex Alimentarius
Commission (CAC). Pertimbangannya adalah bahwa kategori pangan sistem CAC
telah dikenal dan digunakan sebagai acuan oleh banyak negara dalam komunikasi
perdagangannya. Banyak aspek yang dijadikan pertimbangan dalam menentukan jenis
pemanis buatan yang diijinkan untuk digunakan dalam produk makanan, antara lain
nilai kalori, tingkat kemanisan, sifat toksik, pengaruhnya terhadap
metabolisme, gula darah, dan organ tubuh manusia. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa bila dikonsumsi berlebihan atau secara berkelanjutan beberapa
jenis pemanis membawa efek samping yang membahayakan kesehatan manusia. Oleh
sebab itu selain ketentuan mengenai penggunaan pemanis buatan juga harus
disertai dengan batasan jumlah maksimum penggunannya (Ambarsari, 2008).
3.1.3.3
Dampak Pemanis Buatan terhadap
Kesehatan
Penggunaan
pemanis buatan yang semula hanya ditujukan pada produk-produk khusus bagi
penderita diabetes, saat ini penggunaannya semakin meluas pada berbagai produk
pangan secara umum. Beberapa pemanis buatan bahkan tersedia untuk dapat
langsung digunakan atau ditambahkan langsung oleh konsumen kedalam makanan atau
minuman sebagai pengganti gula. Propaganda mengenai penggunaan pemanis buatan
umumnya dikaitkan dengan isu-isu kesehatan seperti: pengaturan berat badan,
pencegahan kerusakan gigi, dan bagi penderita diabetes dinyatakan dapat
mengontrol peningkatan kadar glukosa dalam darah. Namun demikian, tidak
selamanya penggunaan pemanis buatan tersebut aman bagi kesehatan (Cahyadi,
2006).
Pemanis buatan diperoleh secara
sintetis melalui reaksi-reaksi kimia di laboratorium maupun skala industri.
Karena diperoleh melalui proses sintetis dapat dipastikan bahan tersebut
mengandung senyawa-senyawa sintetis. Penggunaan pemanis buatan perlu diwaspadai
karena dalam takaran yang berlebih dapat menimbulkan efek samping yang
merugikan kesehatan manusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa jenis
pemanis buatan berpotensi menyebabkan tumor dan bersifat karsinogenik. Oleh
karena itu Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/ WHO)
telah menetapkan batas-batas yang disebut Acceptable Daily Intake (ADI)
atau kebutuhan per orang per hari, yaitu jumlah yang dapat dikonsumsi tanpa
menimbulkan resiko. Sejalan dengan itu di negara-negara Eropa, Amerika dan juga
di Indonesia telah ditetapkan standar penggunaan pemanis buatan pada produk
makanan. Kajian ini dilakukan untuk mengevaluasi penerapan standar penggunaan
jenis pemanis buatan dan batas maksimum penggunaannya pada beberapa produk
pangan seperti minuman (beverages), permen/kembang gula, permen karet,
serta produk-produk suplemen kesehatan (Yuliarti, 2007).
Menurut Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) RI tentang persyaratan penggunaan bahan tambahan pangan pemanis
buatan dalam produk pangan menyebutkan bahwa pemanis buatan tidak diizinkan
penggunaanya pada produk pangan olahan tertentu untuk dikonsumsi oleh kelompok
tertentu meliputi bayi, balita, ibu hamil, ibu menyusui dalam upaya memelihara
dan meningkatkan kualitas kesehatannya.
IV.
PENUTUP
4.1
Simpulan
Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah senyawa yang sengaja
ditambahkan ke dalam makanan dengan jumlah dan ukuran tertentu dan teribat
dalam proses pengolahan, pengemasan, dan atau penyimpanan.
BTP secara umum bertujuan untuk meningkatkan nilai gizi
makanan, memperbaiki nilai estetika dan sensori makanan. Dan memperpanjang umur
simpan (shelf life) makanan.
Fungsi BTP berdasarkan yaitu sebagai: Antioksidan;
Antikempal; Pengasam,penetral dan pendapar; Enzim; Pemanis buatan; Pemutih dan
pematang; Penambah gizi; Pengawet; Pengemulsi, pemantap dan pengental;
Pengeras; Pewarna sintetis dan alami; Penyedap rasa dan aroma, Sekuestran; dll
BTP yang dilarang penggunaannya: Boraks, formalin, minyak nabati
yang dibrominasi,
dietilpirokarbonat kloramfenikol, kalium klorat, nitrofurazon, dulcin,
asam salisilat dan garamnya.
4.2
Saran
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, di
butuhkan saran berupa kritik, solusi, dan masukan yang positif demi
menyepurnakan makalah ini, sehingga penulis bias menyempurnakan makalah yang
akan dayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar