Minggu, 30 November 2014

makalah seminar satu.hariyano hasantua.unsrat.fpik.msp.2014


  BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar belakang
Sebagai suatu negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.508 pulau dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km, Indonesia memiliki potensi sumberdaya wilayah pesisir dan laut yang sangat besar. Ekosistem pesisir dan laut menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan energi, media komunikasi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata.Karena itu wilayah pesisir dan laut merupakan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya di masa datang.
Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut.Wilayah demikiandisebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara duaatau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam Kaswadji, 2001). Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal dari kedua komunitas tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih besar dari komunitas yang mengapitnya.
Potensi sumberdaya pesisir dan lautan dapat dibedakan kedalam sumberdaya dapat di perbaharui (renewable resources) meliputi mangrove, padang lamun terumbu karang, sumberdaya perikanan (perikanan tangkap, budidaya), energi gelombang, pasang surut, angin, dan OTEC ( Ocean Thermal Energy Conversion). Dan sumberdaya tidak dapat di perbaharui (non renewable resources) meliputi sumberdaya minyak dan gas bumi dan berbagai jenis mineral. Selain dua jenis sumberdaya tersebut terdapat berbagai macam jasa lingkungan kelautan yang dapat di kembangkan untuk pembangunan kelautan seperti pariwisata bahari, industri maritim, jasa angkutan, dan sebagainya, hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting di wilayah pesisir dan lautan.
1.2       Luas dan Penyebaran Mangrove
Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di Asia tenggara, yakni 7,7 juta hektar. Akan tetapi, pertumbuhan pemukiman, aktivitas ekonami, dan eksploitasi kayu mangrove berlebihan untuk di jadikan arang menyebabkan hutan mangrove tersisa 3,6 juta hektar (Kompas, 21 Desember 2011). Hutan mangrove di Indonesia merupakan yang terluas, sekitar 23% dari seluruh hutan mangrove dunia. Pada tahun 1982, luas hutan mangrove di indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta hektar, terutama terdapat di sepanjang pesisir pulau-pulau besar Indonesia. Pada tahun 1987, luas hutan mangrove tersebut telah berkurang dan hanya tersisa 3,24 juta hektar, sedangkan pada tahun 1995 di laporkan bahwa hutan mangrove indonesia hanya tersisa 2,06 juta hektar, yang berarti berkurang seluas 1,18 juta hektar (Rahman, 2008 dalam Kusmana. dkk. 2003). Dari laporan-laporan di atas merupakan indikator terjadinya ancaman terhadap kelestarian hutan mangrove di Indonesia khususnya di wilayah-wilayah pesisir Indonesia.
Mengestimasi luas mangrove di Indonesia adalah 3.244.018,46 ha (Hartini, 2010 dalam Hawari, 2012). Kementerian kehutanan tahun 2007  juga mengeluarkan data luas hutan mangrove Indonesia, adapun luas hutan mangrove Indonesia  berdasarkan kementerian kehutanan adalah 7.758.410,595 ha (Direktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kementerian Kehutanan, 2009; Hartini , 2010 dalam Hawari, 2012), tetapi hampir 70% nya rusak ( belum tau kategori rusaknya seperti apa). Kedua instansi tersebut juga mengeluarkan data luas Mangrove per propinsi di 33 Provinsi di Indonesia. Luas-luas mangrove di 33 Provinsi dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1.  Luas dan penyebaran Areal Hutan Mangrove di setiap propinsi di indonesia.
    Sumber : Hawari, 2012

BAB II
FUNGSI DAN MANFAAT MANGROVE

2.1       Fungsi Mangrove
Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi yaitu: fungsi fisik, fungsi biologis (ekologis) dan fungsi ekonomis seperti di bawah ini.
a)         Fungsi Fisik
§  Menjaga garis pantai dan tebing sungai dari erosi/abrasi agar tetap stabil
§  Mempercepat perluasan lahan
§  Mengendalikan intrusi air laut
§  Melindungi daerah di belakang mangrove dari hempasan gelombang dan angin kencang
§  Mengelolah limba organik
b)         Fungsi Biologis/Ekologis
§  Tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground), dan tempat berkembang biak (nursery ground) berbagai jenis ikan, udang, kerang, dan biota laut lainnya
§  Tempat bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung
§  Sumber plasma nutfah


c)         Fungsi Ekonomis
§  Hasil hutan berupa kayu
§  Bisa dibuat obat-obatan
§  Lahan untuk kegiatan produksi pangan dan tujuan lain (pemukiman, pertambangan, industri, transportasi, rekreasi, dan lain-lain)





2.2       Manfaat Mangrove
Sumberdaya mangrove yang berpotensi di manfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dapat di lihat dari dua tingkatan, yaitu tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan dan tingkat komponen ekosistem sebagai primary biotic component, sebagai berikut :
1).        Tingkat ekosistem mangrove secara keseluruhan
a)         Lahan tambak, lahan pertanian, dan kolam garam
Di beberapa lokasi di indonesia, banyak lahan mangrove dikonversi untuk lahan tambak, lahan pertanian dan kolam pembuatan garam. Fakta di lapangan menunjukan bahwa pengkonversian lahan mangrove menjadi jenis penggunaan lain seperti tersebut di atas dilakukan dengan tidak memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian ekosistem.
Sebenarnya dari sudut pandang ilmiah, lahan mangrove bisa dikonversi menjadi jenis penggunaan lain dalam proporsi dan pada lokasi yang tepat sesuai dengan persyaratan ekologis tumbuhannya penggunaan yang di rekomendasikan.
b).        Lahan pariwisata
Beberapa potensi ekosistem mangrove yang merupakan modal penting bagi tujuan rekreasi adalah :
§  Bentuk perakaran yang khas umum di temukan pada beberapa jenis pohon mangrove, seperti akar tunjang (Rhizophora Spp), akar lutut (Bruguera spp), akar pasak (Sonneratia spp dan Avicennia spp), dan akar papan (Heritiera spp)
§  Buahnya yang bersifat vivipar (buah berkecambah semasa masih menempel pada pohon) yang di perlihatkan oleh beberapa jenis pohon mangrove, seperti jenis-jenis yang tergolong Rhizophoraceae
§  Adanya zonasi yang berbeda mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman (transisi dengan hutan rawa)
§  Berbagai jenis fauna dan flora yang berasosiasi dengan ekosisitem mangrove, di mana jenis fauna dan flora tersebut kadang-kadang jenis endemik bagi daerah yang bersangkutan
§  Atraksi adat istiadat tradisional penduduk setempat yang berkaitan dengan sumberdaya mangrove
§  Saat ini, nampaknya hutan-hutan mangrove yang di kelola secara rasional untuk pertambakan/tambak tumpangsari, penebangan, pembuatan garam, dan lain-lain bisa menarik para wisatawan.
Bentuk-bentuk kegiatan rekreasi yang dapat dikembangkan di hutan mangrove adalah berburu, hiking, memancing, berenang, melihat atraksi berbagai satwa, fotografi, piknik dan kemping.
2)         Tingkat komponen ekosistem sebagai primary biotik component
  a)       Flora
Dalam skala komersial, berbagai jenis kayu mangrove dapat di gunakan sebagai:
§  Chips untuk bahan baku kertas terutama jenis Rhizophora spp. Dan Bruguiera spp.
§  Penghasilan industri papan dan Plywood, terutama jenis Brugueira spp,  dan Heritiera littoralis
§  Tongkat dan tiang pancang (scal fold) terutama Bruguiera spp, Ceriops spp, Oncosperma sp, dan Rhizophora apiculata.
§  Kayu bakar dan arang yang berkualitas sangat baik
b)         Fauna
Sebagian besar jenis fauna mangrove yang berpotensi di manfaatkan oleh masyarakat adalah berupa berbagai jenis ikan, kepiting dan burung.
§  Ikan
Berdasarkan hasil penelitian para ahli ada lebih dari sekitar 52 jenis ikan yang hidup di habitat mangrove indonesi. Dari berbagai jenis ikan tersebut ada enam jenis ada umum ditemukan, yaitu Mullet (Mugil cephalus), seabass ( Laster calcarifer), Tilapia ( Tillapia sp), dan lain-lain
§  Udang dan Kepiting
Ada sekitar 61 jenis udang dan kepiting yang hidup di habitat mangrove indonesia, di antaranya jenis-jenis yang umum ditemukan di habitat tersebut, adalah :Uca spp (fiddler crab), Sesarma spp, Scylla serata, Giant freshwater prawns (Macrobrachium rosenbergii), marine penaeid prawns (penaeus spp).
Jenis udang, bandeng dan kepiting biasanya di budidayakan oleh masyrakat dalam bentuk culture fishery (tambak), sedangkan jenis-jenis ikan lainnya dan crustaceae serta mollusca diperoleh masyarakat melalui culture fishery.
§  Burung
Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah di lakukan di berbagai lokasi dilaporkan bahwa ada sekitar 46 jenis burung yang berasosiasi dengan mangrove, di antaranya yang umum ditemukan adalah pecuk (Anhinga sp. dan phalacocorax sp), cangak dan blekok (Ardea sp), bangau/kuntul (Egretta sp dan Leotoptilos sp).














BABA III
DEFINISI HUTAN MANGROVE DAN EKOSISTEM MANGROVE


3.1       Definisi hutan mangrove
Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000)
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang di dominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili,dan terdiri atas 12 genera tumbuhan berbunga : Avicennie, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000).
Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut airlaut); dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968 dalam Supriharyono, 2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apa bila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove.

3.2       Definisi ekosistem mangrove
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan di antara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
Dalam suatu paparan mangrove di suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies mangrove (Hutching and Saenger,1987dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967 dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah.






BABA IV
PENTINGNYA EKOSISTEM MANGROVE

4.1       Daya adaptasi mangrove terhadap lingkungan
Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap lingkungan. Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk :
a)      Adaptasi terhadap kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya : Avecennia spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.) untuk mengambil oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp.).
b)      Adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi :
·         Memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam.
·         Berdaun kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam.
·         Daunnya memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
c)  Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.



4.2       Zonasi Hutan Mangrove
Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia :
Ø  Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
Ø  Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya di dominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga di jumpai Bruguieraspp. dan Xylocarpus spp.
Ø  Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
Ø  Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa di tumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.
4.3       Hubungan ekosistem mangrove dengan ekosistem lainnya
Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem tersebut dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut tidak mengganggu
kehidupan terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi organisme yang hidup dipadang lamun ataupun terumbu karang.
Di samping hal-hal tersebutdi atas, ketiga ekosistem tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau sebaliknya (Kaswadji, 2001).











BAB V
DAMPAK EKOSISTEM MANGROVE

5.1       Dampak kegiatan manusia
Kegiatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja telah menimbulkan dampak terhadap ekosistem mangrove. Dapat disebutkan di sini beberapa aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove beserta dampaknya.
    Tabel 1. Iktisar Dampak Aktivitas Manusia pada Ekosistem Mangrove
No
Aktivitas
Dampak pontensial
1
Tebang habis
·         Berubahnya komposisi mangrove
·         Tidak berfungsinya daerah untuk mencari makan dan daerah pengasuhan bagi ikan
2
Pengalihan aliran air tawar (Pembangunan irigasi)
·         Peningkatan salinitas hutan mangrove
·         Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove
3.
Konversi menjadi lahan pertanan, perikanan, pemukiman, dll
·         Mengancam regenerasi stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan mangrove sebagai nursery ground
·         Terjadinya pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar
4.
Pembangunan sampah cair dan padat
·         Penurunan kandungan O2, dan timbulnya gas H2S dan NH3
·         Kemungkinan terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat mengakibatkan kematian mangrove
5.
Pencemaran minyak akibat terjadinya tumpahan minyak dalam jumlah besar
·         Kematian pohon-pohon mangrove
·         Musnahnya daerah  nursery ground bagi larva dan juvenile ikan dan udang yang bernilai ekonomis penting dan mengancam regenerasi ikan dan udang tersebut
6.
Penembangan dan ekstraksi mineral, baik dalam hutan maupun di daratan sekitar mangrove
·         matinya mangrove akibat terlapisnya pneumatofora
·         kematian pohon mangrove
·         kerusakan total ekosistem mangrove, hingga memusnahkan fungsi ekologi mangrove
·         pengendapan sedimen yang dapat mematikaqn pohon mangrove






































Sumber : Berwick, 1983 dalam Dahuri, 1996



5.2       Dampak ekologi
Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove pada khususnya dan ekosistem pesisir pada umumnya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan semua ekosistem pesisir. Bahasan lebih kepada ekosistem mangrove, kaitannya dengan strategi dan pengelolaan mangrove. Hubungan antar ekosistem pesisir dibahas secara singkat manakala diperlukan untuk memperjelas keberadaan ekosistem mangrove.







BAB VI
PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga tahapan utama (isu-isu/informasi). Isu-isu tersebut adalah : isu ekologi dan socialekonomi, kelembagaan dan perangkat hukum, serta strategi dan pelaksanaan rencana.
6.1       Isu ekologi dan isu sosial ekonomi
Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia terhadap ekosistem mangrove. Berbagai dampak kegiatan manusia terhadapekosistem mangrove harus diidentifikasi, baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi di kemudian hari. Adapun isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Begitu pula kegiatan industri,tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya di sekitar hutan mangroveharus diidentifikasi dengan baik.
6.2       Isu kelembagaan dan perangkat hukum
Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan Kehutanan, serta DepartemenKelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang sangat berkompeten dalam pengelolaan mangrove. Koordinasiantar instansi yang terkait dengan pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat ini.Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan pengelolaan mangrove.Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove.Yang diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap perangkat hukum tersebut.

6.3       Strategi dan pelaksanaan rencana
Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan.Kedua konsep tersebutpada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari.Kedua kosep tersebutadalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi,dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai.
Dalam konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan, manfaat dan fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan data Tataguna
Hutan Kesepakatan (Santoso, 2000) terdiri atas :
·         Kawasan Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman laut, taman hutan raya, cagar biosfir).
·         Kawasan Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain).
Perlu diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove selain terdapat kawasan hutan mangrove juga terdapat areal/lahanyang bukan kawasan hutan, biasanya status hutan ini dikelola oleh masyarakat (pemilik lahan) yang dipergunakan untuk budidaya perikanan, pertanian, dan sebagainya.Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan dalam pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu) maupun ekonominya.
Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang diawasi,sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan, mekanisme pengawasan, serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000).


BAB VII
SIMPULAN

Ekosistem mangrove merupakan salah satuekosistem pesisir yang unik dan khas yang bernilai ekologis dan ekonomis.Secara sosial ekonomi, mangrove memiliki nilai ekonomi baik dari kayu, buah maupun berbagai biota didalamnya.Sedangkan dari sisi lingkungan hidup (ekologis) mangrove memiliki peran sebagai benteng alami daratandari terjangan abrasi/erosi pantai dan flora faunanya memiliki nilaikeanekaragaman hayati yang sangat tinggi.
Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan mangrove, maka diperlukanpengelolaan mangrove yang meliputi aspek perlindungan dan konservasi.Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan mangrove yang melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat.

Daftar Pustaka
Bengen, D.G. 2000.Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya  Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Bengen, D.G. 2001.Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove.Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya
WilayahPesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia.
Idawaty. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Lansekap Hutan
Mangrove Di Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat. Tesis Magister. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
IUCN - The Word Conservation Union. 1993. Oil and Gas Exploration and
ProductioninMangrove Areas.IUCN. Gland, Switzerland.
Kaswadji, R. 2001. Keterkaitan Ekosistem Di Dalam Wilayah Pesisir. Sebagian bahan
kuliah SPL.727 (Analisis Ekosistem Pesisir dan Laut). Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB. Bogor,Indonesia.
Khazali, M. 1999. Panduan Teknis Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat.
Wetland International – Indonesia Programme. Bogor, Indonesia.
Kusmana, C. Dkk. 2003.Teknik rehabilitasi mangrove.Fakultas kehutanan.
IPB. Bogor. 181 hal
Lawrence, D. 1998. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Alih
bahasa oleh T. Mack dan S. Anggraeni.The Great Barrier Reef Marine Park Authority. Townsville, Australia.


Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Alih bahasa oleh M.
Eidman.,Koesoebiono., D.G. Bengen., M. Hutomo., S. Sukardjo. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, Indonesia.
Santoso, N., H.W. Arifin. 1998. Rehabilitas Hutan Mangrove Pada Jalur Hijau Di
Indonesia. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove (LPP Mangrove). Jakarta, Indonesia.
Santoso, N. 2000.Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove.Makalah disampaikan pada        Lokakarya Nasional Pengembangan Sistem Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000. Jakarta, Indonesia.
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, Indonesia.
Widigdo, B. 2000.Diperlukan Pembakuan Kriteria Eko-Biologis Untuk Menentukan          “Potensi Alami” Kawasan Pesisir Untuk Budidaya Udang. Dalam : Prosiding
            Pelatihan Untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor dan Proyek Pesisir dan Coastal Resources Center– Universityof Rhode Island. Bogor, Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar