BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Sebagai
suatu negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.508 pulau dengan
panjang garis pantai
sekitar 81.000 km, Indonesia memiliki potensi sumberdaya wilayah pesisir dan
laut yang sangat besar. Ekosistem pesisir dan laut menyediakan sumberdaya alam
yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan energi, media
komunikasi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata.Karena
itu wilayah pesisir dan laut merupakan
tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya di masa datang.
Pesisir merupakan wilayah perbatasan
antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh
proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut.Wilayah demikiandisebut
sebagai ekoton, yaitu daerah transisi
yang sangat tajam antara duaatau lebih komunitas (Odum, 1983 dalam Kaswadji, 2001). Sebagai daerah
transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal dari kedua komunitas
tersebut, yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti oleh spesies lain
yang merupakan ciri ekoton, dimana seringkali kelimpahannya lebih besar dari
komunitas yang mengapitnya.
Potensi sumberdaya pesisir dan lautan dapat dibedakan
kedalam sumberdaya dapat di perbaharui (renewable
resources) meliputi mangrove, padang lamun terumbu karang, sumberdaya
perikanan (perikanan tangkap, budidaya), energi gelombang, pasang surut, angin,
dan OTEC ( Ocean Thermal Energy
Conversion). Dan sumberdaya tidak dapat di perbaharui (non renewable resources) meliputi sumberdaya minyak dan gas bumi
dan berbagai jenis mineral. Selain dua jenis sumberdaya tersebut terdapat
berbagai macam jasa lingkungan kelautan yang dapat di kembangkan untuk
pembangunan kelautan seperti pariwisata bahari, industri maritim, jasa
angkutan, dan sebagainya, hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung
kehidupan penting di wilayah pesisir dan lautan.
1.2 Luas
dan Penyebaran Mangrove
Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di Asia tenggara,
yakni 7,7 juta hektar. Akan tetapi, pertumbuhan pemukiman, aktivitas ekonami,
dan eksploitasi kayu mangrove berlebihan untuk di jadikan arang menyebabkan
hutan mangrove tersisa 3,6 juta hektar (Kompas, 21 Desember 2011). Hutan
mangrove di Indonesia merupakan yang terluas, sekitar 23% dari seluruh hutan
mangrove dunia. Pada tahun 1982, luas hutan mangrove di indonesia diperkirakan
sekitar 4,25 juta hektar, terutama terdapat di sepanjang pesisir pulau-pulau
besar Indonesia. Pada tahun 1987, luas hutan mangrove tersebut telah berkurang
dan hanya tersisa 3,24 juta hektar, sedangkan pada tahun 1995 di laporkan bahwa
hutan mangrove indonesia hanya tersisa 2,06 juta hektar, yang berarti berkurang seluas 1,18
juta hektar (Rahman, 2008 dalam Kusmana. dkk. 2003). Dari laporan-laporan
di atas merupakan indikator terjadinya ancaman terhadap
kelestarian hutan mangrove di Indonesia khususnya di wilayah-wilayah pesisir
Indonesia.
Mengestimasi luas mangrove di Indonesia adalah 3.244.018,46
ha (Hartini, 2010 dalam Hawari, 2012). Kementerian kehutanan tahun
2007 juga mengeluarkan data luas hutan mangrove Indonesia, adapun luas
hutan mangrove Indonesia berdasarkan kementerian kehutanan adalah
7.758.410,595 ha (Direktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kementerian
Kehutanan, 2009; Hartini , 2010 dalam Hawari, 2012), tetapi hampir 70% nya rusak ( belum
tau kategori rusaknya seperti apa). Kedua instansi tersebut juga mengeluarkan
data luas Mangrove per propinsi di 33 Provinsi di Indonesia. Luas-luas mangrove
di 33 Provinsi dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Luas dan
penyebaran Areal Hutan Mangrove di setiap propinsi di indonesia.
Sumber : Hawari, 2012
BAB II
FUNGSI DAN MANFAAT MANGROVE
2.1 Fungsi Mangrove
Sebagai salah satu ekosistem pesisir, hutan mangrove
merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai fungsi yaitu: fungsi
fisik, fungsi biologis (ekologis) dan fungsi ekonomis seperti di bawah ini.
a) Fungsi
Fisik
§
Menjaga
garis pantai dan tebing sungai dari erosi/abrasi agar tetap stabil
§
Mempercepat
perluasan lahan
§
Mengendalikan
intrusi air laut
§
Melindungi
daerah di belakang mangrove dari hempasan gelombang dan angin kencang
§
Mengelolah
limba organik
b) Fungsi
Biologis/Ekologis
§
Tempat
mencari makan (feeding ground),
tempat memijah (spawning ground), dan
tempat berkembang biak (nursery ground)
berbagai jenis ikan, udang, kerang, dan biota laut lainnya
§
Tempat
bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung
§
Sumber
plasma nutfah
c) Fungsi
Ekonomis
§
Hasil
hutan berupa kayu
§
Bisa
dibuat obat-obatan
§
Lahan
untuk kegiatan produksi pangan dan tujuan lain (pemukiman, pertambangan,
industri, transportasi, rekreasi, dan lain-lain)
2.2 Manfaat Mangrove
Sumberdaya mangrove yang berpotensi di
manfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat
dapat di lihat dari dua tingkatan, yaitu tingkat ekosistem mangrove secara
keseluruhan dan tingkat komponen ekosistem sebagai primary biotic component, sebagai berikut :
1). Tingkat
ekosistem mangrove secara keseluruhan
a) Lahan
tambak, lahan pertanian, dan kolam garam
Di beberapa lokasi di indonesia, banyak lahan mangrove
dikonversi untuk lahan tambak, lahan pertanian dan kolam pembuatan garam. Fakta
di lapangan menunjukan bahwa pengkonversian lahan mangrove menjadi jenis
penggunaan lain seperti tersebut di atas dilakukan dengan tidak memperhatikan
prinsip-prinsip kelestarian ekosistem.
Sebenarnya dari sudut pandang ilmiah, lahan mangrove bisa
dikonversi menjadi jenis penggunaan lain dalam proporsi dan pada lokasi yang
tepat sesuai dengan persyaratan ekologis tumbuhannya penggunaan yang di
rekomendasikan.
b). Lahan
pariwisata
Beberapa potensi ekosistem mangrove yang merupakan modal
penting bagi tujuan rekreasi adalah :
§
Bentuk
perakaran yang khas umum di temukan pada beberapa jenis pohon mangrove, seperti
akar tunjang (Rhizophora Spp), akar
lutut (Bruguera spp), akar pasak (Sonneratia spp dan Avicennia spp), dan akar papan (Heritiera spp)
§
Buahnya
yang bersifat vivipar (buah
berkecambah semasa masih menempel pada pohon) yang di perlihatkan oleh beberapa
jenis pohon mangrove, seperti jenis-jenis yang tergolong Rhizophoraceae
§
Adanya
zonasi yang berbeda mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman (transisi dengan
hutan rawa)
§
Berbagai
jenis fauna dan flora yang berasosiasi dengan ekosisitem mangrove, di mana
jenis fauna dan flora tersebut kadang-kadang jenis endemik bagi daerah yang
bersangkutan
§
Atraksi
adat istiadat tradisional penduduk setempat yang berkaitan dengan sumberdaya
mangrove
§
Saat
ini, nampaknya hutan-hutan mangrove yang di kelola secara rasional untuk
pertambakan/tambak tumpangsari, penebangan, pembuatan
garam, dan
lain-lain bisa menarik para wisatawan.
Bentuk-bentuk kegiatan rekreasi yang dapat dikembangkan
di hutan mangrove adalah berburu, hiking,
memancing, berenang, melihat atraksi berbagai satwa, fotografi, piknik dan
kemping.
2) Tingkat komponen ekosistem sebagai primary biotik component
a) Flora
Dalam skala komersial, berbagai jenis kayu mangrove dapat
di gunakan sebagai:
§
Chips
untuk bahan baku kertas terutama jenis Rhizophora
spp. Dan Bruguiera spp.
§
Penghasilan
industri papan dan Plywood, terutama
jenis Brugueira spp, dan Heritiera
littoralis
§
Tongkat
dan tiang pancang (scal fold) terutama Bruguiera
spp, Ceriops spp, Oncosperma sp, dan Rhizophora
apiculata.
§
Kayu
bakar dan arang yang berkualitas sangat baik
b) Fauna
Sebagian besar jenis fauna mangrove yang berpotensi di
manfaatkan oleh masyarakat adalah berupa berbagai jenis
ikan, kepiting dan burung.
§
Ikan
Berdasarkan hasil penelitian para ahli ada lebih dari
sekitar 52 jenis ikan yang hidup di habitat mangrove indonesi. Dari berbagai
jenis ikan tersebut ada enam jenis ada umum ditemukan, yaitu Mullet (Mugil cephalus), seabass ( Laster
calcarifer), Tilapia ( Tillapia sp), dan lain-lain
§
Udang
dan Kepiting
Ada sekitar 61 jenis udang dan kepiting yang hidup di
habitat mangrove indonesia, di antaranya jenis-jenis yang umum ditemukan di habitat
tersebut, adalah :Uca spp (fiddler crab), Sesarma spp, Scylla serata, Giant freshwater prawns (Macrobrachium rosenbergii), marine penaeid
prawns (penaeus
spp).
Jenis udang, bandeng dan kepiting biasanya di
budidayakan oleh masyrakat dalam bentuk culture fishery (tambak), sedangkan
jenis-jenis ikan lainnya dan crustaceae
serta mollusca diperoleh masyarakat melalui culture fishery.
§
Burung
Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah di
lakukan di berbagai lokasi dilaporkan bahwa ada sekitar 46 jenis burung yang
berasosiasi dengan mangrove, di antaranya yang umum ditemukan adalah pecuk (Anhinga sp. dan phalacocorax sp), cangak dan blekok (Ardea sp), bangau/kuntul (Egretta
sp dan Leotoptilos sp).
BABA
III
DEFINISI HUTAN MANGROVE DAN
EKOSISTEM MANGROVE
3.1 Definisi hutan mangrove
Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai
yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang
surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim. Sedangkan daerah pantai adalah
daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang
berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut, dengan
kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000)
Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum
yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang
di dominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang
mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi
pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili,dan terdiri atas 12
genera tumbuhan berbunga : Avicennie,
Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lummitzera,
Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen, 2000).
Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas,
yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar
garam/salinitas (pasang surut airlaut); dan kedua sebagai individu spesies
(Macnae, 1968 dalam Supriharyono,
2000). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apa bila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula
dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1998), penyebutan
mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu
nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove.
3.2 Definisi ekosistem mangrove
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat
berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk
hidup dengan lingkungannya dan di antara makhluk hidup itu sendiri, terdapat
pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh
spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau
(Santoso, 2000).
Dalam suatu paparan mangrove di
suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies mangrove (Hutching and
Saenger,1987dalam Idawaty, 1999).
Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kekeringan, energi
gelombang, kondisi pasang surut, sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967 dalam Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN
(1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan karakteristik hutan mangrove
tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan pesisir, jarak antar pasang
surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe tanah.
BABA IV
PENTINGNYA EKOSISTEM MANGROVE
4.1 Daya adaptasi mangrove
terhadap
lingkungan
Tumbuhan mangrove mempunyai daya adaptasi yang khas terhadap
lingkungan. Bengen (2001), menguraikan adaptasi tersebut dalam bentuk :
a)
Adaptasi
terhadap kadar oksigen rendah, menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran
yang khas : (1) bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora (misalnya : Avecennia
spp., Xylocarpus., dan Sonneratia spp.)
untuk mengambil oksigen dari udara; dan (2) bertipe penyangga/tongkat yang
mempunyai lentisel (misalnya Rhyzophora spp.).
b)
Adaptasi
terhadap kadar garam yang tinggi :
·
Memiliki
sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam.
·
Berdaun
kuat dan tebal yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam.
·
Daunnya
memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi penguapan.
c) Adaptasi terhadap tanah yang kurang strabil dan adanya
pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan
membentuk jaringan horisontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon,
akar tersebut juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.
4.2 Zonasi Hutan Mangrove
Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove
tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi
hutan mangrore di Indonesia :
Ø Daerah yang paling dekat dengan
laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp. yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya
bahan organik.
Ø Lebih ke arah darat, hutan mangrove
umumnya di dominasi oleh Rhizophora spp.
Di zona ini juga di jumpai Bruguieraspp.
dan Xylocarpus spp.
Ø Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
Ø Zona transisi antara hutan mangrove
dengan hutan dataran rendah biasa di tumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.
4.3 Hubungan ekosistem mangrove dengan ekosistem lainnya
Ekosistem utama di daerah pesisir adalah ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem
terumbu karang. Menurut Kaswadji (2001), tidak selalu ketiga ekosistem tersebut
dijumpai, namun demikian apabila ketiganya dijumpai maka terdapat keterkaitan
antara ketiganya. Masing-masing ekosistem mempunyai fungsi sendiri-sendiri.
Ekosistem mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien dan bahan
organik yang dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut. Sedangkan
ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang akan
dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga berfungsi
sebagai penjebak sedimen (sedimen trap)
sehingga sedimen tersebut tidak mengganggu
kehidupan
terumbu karang. Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai
pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem
mangrove juga berperan sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan
pembesaran (nursery ground), tempat
pemijahan (spawning ground) bagi
organisme yang hidup dipadang lamun ataupun terumbu karang.
Di samping hal-hal tersebutdi atas, ketiga ekosistem
tersebut juga menjadi tempat migrasi atau sekedar berkelana organisme-organisme
perairan, dari hutan mangrove ke padang lamun kemudian ke terumbu karang atau
sebaliknya (Kaswadji, 2001).
BAB V
DAMPAK EKOSISTEM MANGROVE
5.1 Dampak kegiatan manusia
Kegiatan manusia baik sengaja maupun
tidak sengaja telah menimbulkan dampak terhadap ekosistem mangrove. Dapat
disebutkan di sini beberapa aktivitas manusia terhadap ekosistem mangrove
beserta dampaknya.
Tabel 1.
Iktisar Dampak Aktivitas Manusia pada Ekosistem Mangrove
No
|
Aktivitas
|
Dampak pontensial
|
|
1
|
Tebang habis
|
·
Berubahnya
komposisi mangrove
·
Tidak berfungsinya
daerah untuk mencari makan dan daerah pengasuhan bagi ikan
|
|
2
|
Pengalihan aliran air tawar (Pembangunan irigasi)
|
·
Peningkatan
salinitas hutan mangrove
·
Menurunnya
tingkat kesuburan hutan mangrove
|
|
3.
|
Konversi menjadi lahan pertanan, perikanan, pemukiman,
dll
|
·
Mengancam
regenerasi stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan
mangrove sebagai nursery ground
·
Terjadinya
pencemaran laut oleh bahan-bahan pencemar
|
|
4.
|
Pembangunan sampah cair dan padat
|
·
Penurunan
kandungan O2, dan timbulnya gas H2S dan NH3
·
Kemungkinan
terlapisnya pneumatofora dengan sampah padat mengakibatkan kematian mangrove
|
|
5.
|
Pencemaran minyak akibat terjadinya tumpahan minyak
dalam jumlah besar
|
·
Kematian
pohon-pohon mangrove
·
Musnahnya
daerah nursery ground bagi larva dan
juvenile ikan dan udang yang bernilai ekonomis penting dan mengancam
regenerasi ikan dan udang tersebut
|
|
6.
|
Penembangan dan ekstraksi mineral, baik dalam hutan
maupun di daratan sekitar mangrove
|
·
matinya mangrove
akibat terlapisnya pneumatofora
·
kematian pohon
mangrove
·
kerusakan total ekosistem mangrove, hingga memusnahkan fungsi
ekologi mangrove
·
pengendapan
sedimen yang dapat mematikaqn pohon mangrove
|
|
Sumber : Berwick, 1983 dalam Dahuri, 1996
5.2 Dampak ekologi
Dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem
mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi
dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan mengganggu
keseimbangan ekosistem mangrove pada khususnya dan ekosistem pesisir pada umumnya. Tulisan ini tidak
dimaksudkan untuk menjelaskan semua ekosistem pesisir. Bahasan lebih kepada
ekosistem mangrove, kaitannya dengan strategi dan pengelolaan mangrove. Hubungan
antar ekosistem pesisir dibahas secara singkat manakala diperlukan untuk memperjelas
keberadaan ekosistem mangrove.
BAB VI
PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE
Pengelolaan mangrove di Indonesia didasarkan atas tiga
tahapan utama (isu-isu/informasi). Isu-isu tersebut adalah : isu ekologi dan socialekonomi,
kelembagaan dan perangkat hukum, serta strategi dan pelaksanaan rencana.
6.1 Isu ekologi dan isu
sosial
ekonomi
Isu ekologi meliputi dampak ekologis intervensi manusia
terhadap ekosistem mangrove. Berbagai dampak kegiatan manusia terhadapekosistem
mangrove harus diidentifikasi, baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi
di kemudian hari. Adapun
isu sosial ekonomi mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat
sekitar hutan mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Begitu pula
kegiatan industri,tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya
di sekitar hutan mangroveharus diidentifikasi dengan baik.
6.2 Isu kelembagaan dan perangkat hukum
Di samping lembaga-lembaga lain, Departemen Pertanian dan
Kehutanan, serta DepartemenKelautan dan Perikanan, merupakan lembaga yang
sangat berkompeten dalam pengelolaan mangrove. Koordinasiantar instansi yang
terkait dengan pengelolaan mangrove adalah mendesak untuk dilakukan saat
ini.Aspek perangkat hukum adalah peraturan dan undang-undang yang terkait
dengan pengelolaan mangrove.Sudah cukup banyak undang-undang dan peraturan yang
dibuat oleh pemerintah dan instansi-instansi yang terkait dalam pengelolaan mangrove.Yang
diperlukan sekarang ini adalah penegakan hukum atas pelanggaran terhadap
perangkat hukum tersebut.
6.3 Strategi dan pelaksanaan rencana
Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove,
terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan.Kedua konsep tersebutpada
dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan
pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari.Kedua kosep
tersebutadalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove
(Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan
terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan
mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi,dan sebagai bentuk sabuk hijau di
sepanjang pantai dan tepi sungai.
Dalam konteks di atas, berdasarkan karakteristik lingkungan,
manfaat dan fungsinya, status pengelolaan ekosistem mangrove dengan didasarkan
data Tataguna
Hutan
Kesepakatan (Santoso, 2000) terdiri atas :
·
Kawasan
Lindung (hutan, cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman laut, taman
hutan raya, cagar biosfir).
·
Kawasan
Budidaya (hutan produksi, areal penggunaan lain).
Perlu diingat di sini bahwa wilayah ekosistem mangrove
selain terdapat kawasan hutan mangrove juga terdapat areal/lahanyang bukan
kawasan hutan, biasanya status hutan ini dikelola oleh masyarakat (pemilik
lahan) yang dipergunakan untuk budidaya perikanan, pertanian, dan
sebagainya.Saat ini dikembangkan suatu pola pengawasan pengelolaan ekosistem
mangrove partisipatif yang melibatkan masyarakat. Ide ini dikembangkan atas
dasar pemikiran bahwa masyarakat pesisir yang relatif miskin harus dilibatkan
dalam pengelolaan mangrove dengan cara diberdayakan, baik kemampuannya (ilmu)
maupun ekonominya.
Pola pengawasan pengelolaan ekosistem mangrove yang
dikembangkan adalah pola partisipatif meliputi : komponen yang
diawasi,sosialisasi dan transparansi kebijakan, institusi formal yang
mengawasi, para pihak yang terlibat dalam pengawasan, mekanisme pengawasan,
serta insentif dan sanksi (Santoso, 2000).
BAB
VII
SIMPULAN
Ekosistem mangrove merupakan salah satuekosistem pesisir
yang unik dan khas yang bernilai ekologis dan ekonomis.Secara
sosial ekonomi, mangrove memiliki nilai ekonomi baik dari kayu, buah maupun
berbagai biota didalamnya.Sedangkan
dari sisi lingkungan hidup
(ekologis) mangrove memiliki peran sebagai benteng alami
daratandari terjangan abrasi/erosi
pantai dan
flora faunanya memiliki nilaikeanekaragaman hayati yang sangat tinggi.
Mengingat aktivitas manusia dalam pemanfaatan hutan
mangrove, maka diperlukanpengelolaan mangrove yang meliputi aspek perlindungan
dan konservasi.Dalam rangka pengelolaan, dikembangkan suatu pola pengawasan
pengelolaan mangrove yang melibatkan semua unsur masyarakat yang terlibat.
Daftar
Pustaka
Bengen,
D.G. 2000.Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya
Alam Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Indonesia.
Bengen,
D.G. 2001.Pedoman Teknis Pengenalan dan
Pengelolaan Ekosistem
Mangrove.Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan – Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Dahuri,
M., J.Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya
WilayahPesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta,
Indonesia.
Idawaty.
1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan
Perencanaan Lansekap Hutan
Mangrove
Di Muara Sungai Cisadane, Kecamatan Teluk Naga, Jawa Barat. Tesis Magister. Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
IUCN
- The Word Conservation Union. 1993. Oil
and Gas Exploration and
ProductioninMangrove Areas.IUCN. Gland, Switzerland.
Kaswadji,
R. 2001. Keterkaitan Ekosistem Di Dalam
Wilayah Pesisir. Sebagian bahan
kuliah SPL.727 (Analisis Ekosistem
Pesisir dan Laut). Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB. Bogor,Indonesia.
Khazali,
M. 1999. Panduan Teknis Penanaman
Mangrove Bersama Masyarakat.
Wetland International – Indonesia Programme. Bogor,
Indonesia.
Kusmana, C. Dkk. 2003.Teknik rehabilitasi mangrove.Fakultas kehutanan.
IPB.
Bogor. 181 hal
Lawrence,
D. 1998. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu. Alih
bahasa oleh T. Mack dan S.
Anggraeni.The Great Barrier Reef Marine Park Authority. Townsville, Australia.
Nybakken,
J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan
Ekologis. Alih bahasa oleh M.
Eidman.,Koesoebiono., D.G. Bengen.,
M. Hutomo., S. Sukardjo. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, Indonesia.
Santoso,
N., H.W. Arifin. 1998. Rehabilitas Hutan Mangrove
Pada Jalur Hijau Di
Indonesia. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan
Mangrove (LPP Mangrove). Jakarta, Indonesia.
Santoso, N. 2000.Pola Pengawasan Ekosistem Mangrove.Makalah
disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengembangan
Sistem Pengawasan Ekosistem Laut Tahun 2000. Jakarta, Indonesia.
Supriharyono.
2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta, Indonesia.
Widigdo,
B. 2000.Diperlukan Pembakuan Kriteria
Eko-Biologis Untuk Menentukan “Potensi Alami” Kawasan Pesisir
Untuk Budidaya Udang.
Dalam : Prosiding
Pelatihan Untuk Pelatih Pengelolaan
Wilayah Pesisir Terpadu. Pusat Kajian
Sumberdaya
Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor dan Proyek Pesisir dan Coastal
Resources Center– Universityof Rhode Island. Bogor, Indonesia.